Dr. Drs. I Gusti Ketut Widana, M.Si. (BP/kmb)

Oleh : I Gusti Ketut Widana

“Hakikat agama tidak terletak pada dogma-dogma dan ritus-ritus serta upacara-upacara menjemukan, tetapi dalam kebijaksanaan-kebijaksanaan paling dalam dari segala zaman, sanatana dharma, yang merupakan satu-satunya pedoman, bukan semata-mata menyangkut kebenaran, melainkan pandangan-pandangan atau pemahaman terhadap kebenaran yang telah diyakini manusia” (Radhakrishnan, 2003).

Pandangan filsuf Radhakrishnan diatas, seperti ‘mencubit’ kesadaran beragama umat Hindu yang selama ini seakan tenggelam/terbenam di kedalaman zona nyaman beraktivitas ritual (yadnya) bersandarkan dogma. Dogma itu bersifat dogmatis, mengandung arti berpegang pada kepercayaan tanpa perlu berpikir atau bertanya lagi dan cenderung hanya menjalani sebagaimana sudah diterima sebelumnya.

Di kalangan masyarakat Bali, dogma bertransformasi menjadi adagium “gugon tuwon-anak mule keto” — memang demikian adanya sejak dulu. Termasuk praktik ritual, disebut juga ritus berupacara, meski terkesan menjemukan tetapi hal itu sudah menjadi bagian keseharian perilaku keberagamaan umat Hindu.

Dipastikan kegiatan ritual Hindu (upacara/uakara) yang tampak sebagai ornamen (materi) tak akan pernah teralihkan ke dalam bentuk lain, sekalipun sebenarnya masih bergerak di tataran simbol, dan berada di level ketiga (kulit/kemasan) dalam konstruksi agama Hindu, selain tattwa sebagai pondamen (substansi) dan susila/etika sebagai instrumen (essensi).

Baca juga:  Ironi Negeri Petani

Ritual suci Galungan yang dilaksanakan setiap 210 hari sekali, sejauh ini masih bermain di tingkatan nilai material dalam bentuk haturan sesaji (bebanten), belum beranjak ke nilai spiritual – meninggikan kualitas rohani, menguatkan sradha bhakti. Penyebabnya, dogma Galungan baru dipahami sebatas doktrin kemenangan dharma atas adharma, yang kemudian disimbolisasikan lewat media ritualistik ekspresif.

Ajaran Hindu itu sendiri sebagai kebenaran abadi (sanatna dharma) tampaknya belum memantulkan sinar terang yang mampu mencerahkan pandangan, dan pikiran umat. Padahal hakikat Galungan sebagaimana disuratkan lontar Sundarigama menyatakan : Budha Kliwon Dungulan ngaran Galungan patitis ikang janyana samadhi, galang apadang maryakena sarwa byapaning idep, artinya : Rabu Kliwon Dungulan namanya Galungan, arahkan bersatunya rohani supaya mendapatkan pandangan yang terang untuk melenyapkan segala kekacauan pikiran.

Baca juga:  Pendidikan Anak Dalam Keluarga

Jadi, core values atau nilai inti Galungan adalah “galang apadang”, terang benderangnya pandangan guna melenyapkan segala bentuk kekotoran atau kekacauan pikiran, tentunya bercahayakan dharma. Sebagaimana ditegaskan kitab Slokantara, 24 (52) : “Bulan itu lampu di waktu malam, Surya itu lampu dunia di siang hari, dan dharma itulah (menjadi) lampu di ketiga dunia (bhur, bwah, swahloka)”. Tak salah jika kemudian tagline ritual Galungan kali ini adalah : Galang-Guling-Gĕlung-Gĕlĕng.

Melalui sinar dharma diharapkan umat menjadi “Galang”, mendapat pencerahan dan kesadaran serta kebijaksanaan dalam memaknai Galungan yang tidak boleh stagnan sebatas persembahan haturan (bebanten/sesaji). Bermodalkan “Galang” bergerak menuju aksi “Guling”, sebagai ikhtiar bagaimana umat mampu membangkitkan kesadaran Sang Diri (matutur ikang Atma ri jatinya) dalam perjuangan panjangnya membela atau menegakkan dharma, hingga berhasil menggulingkan bahkan menggulung dominasi adharma.

Tidak hanya sekadar mengguling Babi (celeng) atau menggulung lingkaran ‘be urutan’ (sosis ala bali) saat penampahan Galungan sebagai simbol mengatasi pengaruh tamasika (kebodohan, kemalasan, ketidaksadaran). Lebih dari itu, dengan kesadaran (galang) dan keberhasilan mengguling/menggulung adharma, diharapkan eksistensi dharma dapat menjadi “Gelung” (mahkota) — kebenaran sebagai raja, meliputi dan menguasai diri, yang kemudian diimplementasikan dalam perilaku sehai-hari.

Baca juga:  Nataru dan Galungan Dipastikan Tak Picu Kenaikan Harga Pangan

Hanya dengan begitu Galungan akan bermakna, tidak hanya secara ritual, spiritual tetapi juga dalam konteks sosial dan personal, dimana umat senantiasa berada dalam keadaan “Gĕlĕng” : dĕgĕng (tenang/stabil), antĕng (disiplin), dan pastinya onĕng/sĕnĕng (bahagia). Tidak ada lagi saling curĕng (sinis), mĕmĕgĕng (masa bodo) ĕntĕg sĕbĕng (cuek/tidak peduli), apalagi mĕmĕtĕng (gelap mata/pikiran dan hati), meski di tengah kehidupan sekarang dengan keadaan perekonomian yang rada bikin pĕngĕng lĕmpuyĕng akibat dunia dilanda krisis global.

Istilahnya “sing ada Galungan buung”, bagaimanapun keadaannya, umat Hindu akan tetap dengan rutin, rajin dan disiplin Ngegalung, lengkap dengan Penjor sebagai simbol kemenangan dharma atas adharma.

Penulis, Dosen UNHI Denpasar

BAGIKAN