Tari Sang Hyang Jaran. (BP/Istimewa)

MANGUPURA, BALIPOST.com – Desa Adat Sedang, Abiasemal, Badung memiliki tarian sakral, yakni Tari Sang Hyang Jaran. Tarian ini secara turun temurun Pangemong Pura Dalem Solo, Desa Adat Sedang, Desa Sedang, Abiansemal, mempercayai salah satu tarian sebagai penolak bala.

Tarian tersebut dipentaskan pada Kajeng Kliwon sasih kelima. Sebelumnya, tradisi ini biasanya dipentaskan di setiap perempatan Desa Adat Sedang. Namun, seiring berjalannya waktu tradisi ini hanya digelar di Pura Dalem Solo.

Kelian Adat Desa Sedang I Gusti Ngurah Jaya Putra saat dihubungi membenarkan selain dipercaya sebagai tradisi kuno yang dapat menolak Bala, Tari Sang Hyang Jaran juga merupakan salah satu warisan secara turun temurun. “Sampai saat ini tarian sakral ini tetap dipentaskan oleh Pangemong Pura Dalem Solo,” ujarnya.

Baca juga:  Ida Batara Mewali ke Besakih, Gunung Agung Keluarkan Hembusan Setinggi 500 Meter

Menurutnya,  Tari Sang Hyang Jaran dipentaskan minimal sebanyak tiga kali, yang akan digelar setiap Kajeng Kliwon diawali pada sasih kelima. “Jadi setiap ketemu Kajeng Kliwon dari sasih kelima sampai seterusnya sebanyak tiga kali. Saat ini hanya di Pura Dalem Solo saja karena sudah ada jalan takutnya nanti menyebabkan kerusakan pada aspal dan yang lainnya,” ungkapnya.

Jaya Putra menerangkan, tidak sembarangan orang yang dapat mementaskan tarian ini. Lantaran yang akan menjadi Sang Hyang Jaran adalah orang yang memang terpilih. “Sebenarnya untuk yang menarikan tarian sakral ini hanya orang yang kelinggihan saja. Kalau tidak salah ada lima orang atau lebih yang menjadi petapakan Ida Bhatara. Nantinya tidak semua akan menari hanya yang kerauhan (trans),” terangnya.

Baca juga:  Desa Petiga Andalkan Agropolitan untuk Sejahterakan Masyarakat

Dipilihnya sasih kelima untuk pementasan tarian ini, jelas Jaya Putra, lantaran dikenal sebagai sasih merana. Sejatinya jika tidak dipentaskan, dipercaya akan ada kejadian yang di luar logika. Namun, dalam perjalanannya akibat COVID-19 pementasan tarian sakral ini sempat dihentikan selama dua tahun.

“Memang sempat dihentikan bahkan sekaa kecaknya sempat dibubarkan. Saat itu Jero mangku yang menjadi beban karena terus dituntut untuk mementaskan tarian tersebut. Mungkin saat itu mendapatkan pawisik atau lainnya. Sehingga beliau meminta izin untuk dilaksanakan kembali,” imbuhnya. (Parwata/balipost)

Baca juga:  Masyarakat Tumpah Ruah Ikuti Tradisi Mekotek di Munggu
BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *