Putu Darmaya. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sejak pandemi, pengusaha lokal telah mengambil langkah-langkah penyelamatan aset di Bali, namun upaya penyelamatan terganjal oleh kebijakan pemerintah pusat yang tidak berpihak pada pengusaha lokal. Hal ini mengkhawatirkan karena akan menyebabkan peralihan kepemilikan aset ke pihak luar. Demikian disampaikan pendiri dan pemilik Caspla Bali Group I Putu Darmaya, Senin (22/8).

Diakuinya, jangankan dampak diadakan G20 di Bali, dampak pemulihan pariwisata saja belum terasa. Hal ini karena masih sulitnya pengusaha untuk bergerak, beroperasi kembali pascadua tahun Covid-19. “Walaupun ada G20 dan pariwisata mulai bergeliat, kita tidak bisa ngapa- ngapain karena dalam bisnis pariwisata tentunya akomodasi, transportasi, restoran itu tidak bisa beroperasi sedemikian rupa. Apalagi terdampak dari 2 tahun kemarin,” ujarnya.

Ada suatu kebijakan yang belum jelas dari pemerintah tentang restrukturisasi kredit terhadap pengusaha Bali khususnya di bidang pariwisata. Dari saat mendapat restrukturisasi kredit hingga saat ini, bank belum berani memberikan tambahan kredit karena adanya syarat yang belum memungkinkan bank memberikan kredit tambahan pada pelaku pariwisata.

Baca juga:  Tak Mampu Berikan THR, Pengusaha Minta Kelonggaran

Bank dinilai masih pilih-pilih debitur. Bahkan ada kesan bank menutup pintu untuk pengusaha pariwisata. Sementara pengusaha di Bali mayoritas bergerak dalam bidang pariwisata. “Jadi walaupun ada event seperti G20 tapi tamu yang menengah ke bawah dan menengah ke atas jika infrastruktur belum siap karena dana atau peluru yang seharusnya dibantu  oleh bank tidak ada, maka akan sulit bergerak,” tandasnya.

Ia menilai tambahan modal kerja yang diminta adalah untuk memperbaiki fasilitas yang ada, bukan membangun dari nol sehingga tidak terlalu sulit untuk mendatangkan pendapatan kembali mengingat sebelumnya telah memiliki pasar.

“Jadi saya pikir dampak positifnya ke kita nanti dengan adanya event G20, masih kecil. Meski tak bisa dipungkiri dampak bagi pemerintah dan segmen lain kecipratan. Seperti usaha transportasi di kami yang mana 10%- 20% dari total yang ada sudah berjalan, cuma yang infrastruktur yang tidak siap ini yang tidak bisa dipakai, yang tidak menikmati dampak itu,” bebernya.

Baca juga:  Kursus Teologi Hindu Angkatan I Ditutup, Kursus ke-2 Digelar Desember 2017

Sebelumya Ketua PHRI Badung Agung Rai Suryawijaya juga mengatakan hal serupa, bahwa dari 100% fasilitas hanya sekitar 60% -80% yang bisa dioperasikan. Apalagi telah banyak fasilitas yang tutup karena dihantam pandemi sehingga fasilitas pariwisata berkurang.

Darmaya berharap bank tidak hanya melihat kondisi perekonomian nasional tapi juga Bali yang masih terseok-seok untuk berdiri sehingga bisa menjadi acuan dalam membantu pengusaha lokal Bali. Selain itu bank harus melihat jaminan yang dimiliki. Jika nilai jaminan masih lebih besar daripada utang, maka bank semestinya bisa memberikan tambahan modal kerja.

Baca juga:  Puluhan Ijin Operasi Galian C di Karangasem Mati

“Bank harus berani melihat dari sisi jaminannya, yang masih relevan dengan nilai jaminannya, maka bisa diberikan kredit. Tidak boleh tutup pintu dan pukul rata semua pelaku pariwisata. Jaminan yang memiliki nilai lebih dari jaminan yang ada, itu mesti segera ditolong,” tandasnya.

Dari perhitungan jaminan, pengusaha lokal semestinya bisa dibantu sehingga ekonomi ini bisa bergerak perlahan. Jangan sampai pengusaha lokal melelang jaminannya, mengingat sekarang bank mengarahkan debitur melakukan pelelangan barang ke investor.

Ia khawatir jika tidak ditolong, akan banyak pengusaha lokal yang pailit atau bangkrut. Pengusaha lokal mesti diselamatkan dari sekarang, sebelum mati. Pemerintah toh juga memiliki kepentingan pembangunan dengan meningkatkan jumlah pengusaha dan pendapatan masyarakat per kapita menuju negara maju. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN