
DENPASAR, BALIPOST.com – Pelaksanaan pidana kerja sosial bagi pelaku pidana di Bali akan mulai diberlakukan 2 Januari 2026. Penandatangan Memorandum of Understanding/Perjanjian Kerja Sama (MoU/PKS) antara Kejaksaan Tinggi (Kejati) Bali dengan Pemerintah Provinsi Bali tentang kebijakan ini telah dilakukan, Rabu (17/12). Lalu, apa dampak positif dan negatifnya kebijakan ini jika diberlakukan?
Akademisi Hukum Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Wayan Rideng, SH.,MH., mengatakan kebijakan pelaksanaan pidana kerja sosial bagi pelaku pidana menjadi langkah penting dalam upaya pemerintah daerah Bali untuk menghadirkan alternatif hukuman yang lebih humanis dan produktif bagi pelaku tindak pidana ringan. Kebijakan ini untuk merespons kebutuhan reformasi dalam sistem peradilan pidana yang lebih berfokus pada rehabilitasi dan reintegrasi sosial pelaku tindak pidana.
Sebab, salah satu masalah utama yang dihadapi dalam sistem peradilan pidana tradisional adalah kelebihan kapasitas di lembaga pemasyarakatan, serta tingginya biaya yang harus dikeluarkan oleh negara untuk menahan pelaku kriminal dalam jangka panjang. Dalam konteks ini, pengenaan pidana dengan kerja sosial menjadi alternatif yang lebih efektif dan efisien.
Rideng mengatakan kerja sosial sebagai bentuk hukuman memberikan kesempatan bagi pelaku tindak pidana untuk memberikan kontribusi positif bagi masyarakat, sekaligus memperbaiki perilaku mereka. Para pelaku tindak pidana ringan dapat diberikan tugas untuk melakukan kerja sosial yang berdampak langsung pada kesejahteraan masyarakat, seperti bekerja di proyek-proyek pembangunan lokal, pelestarian lingkungan, atau pemberdayaan masyarakat.
Hal ini bukan hanya memberikan manfaat bagi masyarakat, tetapi juga memberikan kesempatan bagi pelaku untuk memperoleh pembelajaran dan pengalaman yang dapat membantu proses rehabilitasi diri mereka.
Selain itu, manfaat utama dari penerapan kerja sosial sebagai alternatif pidana adalah pengurangan beban di lembaga pemasyarakatan, yang selama ini kerap mengalami kelebihan kapasitas. Dengan demikian, negara dapat mengalokasikan anggaran yang lebih efisien, serta memberikan ruang bagi program rehabilitasi yang lebih fokus bagi narapidana yang memang membutuhkan penahanan jangka panjang.
Masyarakat yang mendapat manfaat langsung dari kerja sosial dapat merasakan dampak positif dalam bentuk peningkatan kualitas lingkungan dan infrastruktur lokal. Pelaku yang terlibat dalam kegiatan ini juga mendapat kesempatan untuk memperbaiki hubungan sosial mereka dengan masyarakat, serta memperbaiki citra diri yang sering kali tercoreng akibat tindakan kriminal.
Namun, meskipun penerapan kerja sosial memiliki banyak manfaat, terdapat sejumlah tantangan yang perlu dihadapi. Salah satunya adalah pengawasan yang efektif terhadap pelaksanaan kerja sosial tersebut.
Dibutuhkan koordinasi yang baik antara instansi terkait untuk memastikan bahwa kerja sosial dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku dan memberikan dampak positif yang maksimal.
Selain itu, meskipun kerja sosial merupakan alternatif yang lebih humanis, terdapat potensi bagi masyarakat untuk menilai bahwa pelaku tindak pidana ringan mendapatkan hukuman yang terlalu ringan. Oleh karena itu, penting untuk memastikan bahwa kerja sosial ini dilakukan dengan penuh tanggung jawab dan menghindari kesan bahwa pelaku tidak mendapatkan hukuman yang setimpal dengan tindakannya.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Ngurah Rai Denpasar, Dr. I Gede Wirata, S.Sos.,SH.,MAP., berpendapat dari perspektif kebijakan sosial, pendekatan ini memiliki keunggulan penting. Pertama, pidana kerja sosial lebih berpotensi mendorong perubahan perilaku dibandingkan hukuman penjara jangka pendek. Pelaku belajar melalui pengalaman langsung, bukan sekadar menerima hukuman pasif.
Kedua, kebijakan ini berkontribusi pada pengurangan stigma sosial, sehingga peluang reintegrasi pelaku ke masyarakat menjadi lebih besar. Ketiga, masyarakat tidak lagi sekadar menjadi objek yang “dirugikan”, tetapi juga menjadi pihak yang memperoleh manfaat dari proses pemidanaan.
Namun demikian, kebijakan ini bukan tanpa tantangan. Risiko terbesar terletak pada tahap implementasi. Tanpa standar operasional prosedur yang jelas dan pengawasan yang ketat, pidana kerja sosial dapat berubah menjadi formalitas belaka, bahkan berpotensi disalahgunakan.
Ketimpangan penerapan juga perlu diantisipasi agar kebijakan ini tidak menimbulkan kesan diskriminatif atau hanya menguntungkan kelompok tertentu. Dalam konteks Bali, menurut Gede Wirata penerapan pidana kerja sosial sesungguhnya memiliki relevansi kultural yang kuat.
Nilai-nilai lokal seperti kebersamaan, tanggung jawab sosial, dan harmoni yang dikenal dalam konsep Tri Hita Karana, sejalan dengan semangat keadilan restoratif. Oleh karena itu, pelibatan desa adat, tokoh masyarakat, dan lembaga sosial lokal menjadi kunci agar kebijakan ini tidak hanya legal secara hukum, tetapi juga legitimate secara sosial.
Ke depan, keberhasilan pidana kerja sosial sangat ditentukan oleh beberapa hal. Di antaranya, kejelasan regulasi, kapasitas pengawasan lintas lembaga, keterlibatan masyarakat, serta evaluasi berkala berbasis data. Jika dikelola dengan baik, kebijakan ini bukan hanya mengurangi beban lembaga pemasyarakatan, tetapi juga menjadi instrumen pembelajaran sosial bagi pelaku dan masyarakat luas.
“Pidana kerja sosial bukanlah tanda lunaknya hukum, melainkan cerminan kedewasaan sistem hukum dalam menyeimbangkan keadilan, kemanusiaan, dan kemanfaatan. Intinya adalah pidana kerja sosial merupakan terobosan penting menuju sistem peradilan pidana yang lebih manusiawi dan berorientasi pemulihan. Namun, kebijakan ini hanya akan efektif jika dijalankan secara adil, transparan, dan melibatkan masyarakat. Tanpa itu, ia berisiko menjadi sekadar simbol kebijakan tanpa dampak sosial yang nyata,” tegasnya.
Menegakkan KUHP
Sebelumnya, pada penandatangan MoU/PKS, Gubernur Bali Wayan Koster mendukung berlakunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Nasional yang baru disahkan tahun 2023 dan mulai berlaku secara serentak pada tanggal 2 Januari 2026. Menurut Koster, pihaknya beserta jajaran akan mendukung penuh dan siap berkolaborasi menegakkan KUHP tersebut di Provinsi Bali.
Koster mengungkapkan bahwa pidana kerja sosial sejatinya sudah diberlakukan di sejumlah desa di Bali. Seperti, yang diberlakukan di desa kelahirannya, yaitu Desa Tejakula, Buleleng yang sangat kuat adabnya sampai saat ini.
Ada pun berbagai hukuman bagi warga yang bermasalah di lingkungan desa adat tersebut menurutnya cukup beragam, sesuai dengan tingkat keparahan pelanggaran. Namun, ia menjelaskan hukuman-hukuman tersebut lebih menjurus ke sanksi sosial.
“Mulai dari kerja bakti, berjalan keliling desa dengan tulisan jenis hukuman hingga sanksi sosial lainnya yang membuat warga jera,” tegasnya.
Gubernur dua periode tersebut pun mengatakan, langkah-langkah tersebut cukup ampuh untuk membuat efek jera terhadap masyarakat, karena dominan masyarakat di Bali juga sangat patuh kepada dresta atau regulasai desa adatnya, yang mana masing-masing desa tentu mempunya Dresta yang berbeda-beda juga.
“Kita punya sistem kearifan lokal yang sudah dijalankan dari zaman kerajaan. Jika itu bisa terus diterapkan berdampingan dengan hukum negara, tentu saja bisa mengurangi masyarakat yang masuk penjara,” tandasnya.
Sementara Sekretaris Jaksa Muda Tindak Pidana Umum, Dr. Undang Mugapol mengatakan bahwa KUHP yang baru tersebut sangat penting karena selama ini Indonesia memakai KUHP warisan Belanda, dan akhirnya tanggal 2 Januari 2026 mendatang bangs aini resmi menggunakan KUHP Nasional Sendiri. “KUHP Nasional dirumuskan oleh Ahli Hukum Indonesia dan menyerap asspirasi masyarakat melalui meaningful participation,” jelasnya.
Keberadaan KUHP baru ini sangat penting, karena dikatakannya berdasarkan nilai-nilai Pancasila, sesuai dengan UUD NRI 1945, Mengakui keberadaan Hukum yang Hidup di Masyarakat (Living Law), serta sejalan dengan Asta Cita utamanya dalam memperkokoh ideologi Pancasila, Demokrasi, dan HAM serta memprkuat reformasi hukum. “Artinya KUHP Nasional telah meninggalkan nilai-nilai kolonial dan mengadopsi nilai-nilai kearifan lokal Indonesia,” imbuhnya.
Ia pun menambahkan, KUHP yang baru juga memperkenalkan jenis Pidana baru seperti pidana kerja sosial, pidana pengawasan, dan pidana tambahan berbasis adat.
Untuk status terpidana anak, penerapan sanksi pidana kerja sosial juga dapat diberlakukan. Namun, lebih pada pendekatan yang lebih edukatif dan rehabilitatif. (Ketut Winata/balipost)










