Dewa Gde Satrya. (BP/Istimewa)

Oleh Dewa Gde Satrya

Peningkatan pergerakan wisatawan domestik dan kedatangan wisatawan mancanegara ke Bali khususnya, dan Indonesia umumnya, ada permasalahan serius menyertai people mobility ini, yakni masalah sampah. Sedemikian serius permasalahan ini, menjadikan Bali sebagai ikon pariwisata Indonesia tersingkir dari pemeringkatan pariwisata dunia.

Tahun 2021 Bali masih bertengger di puncak tertinggi Traveler Choice Award versi Trip Advisor. Tahun ini, Bali tersingkir dari top ten destination choice wisatawan dunia, dikalahkan oleh London pemenang pada 2020 yang sempat tersingkir pada 2021.

Sampah menjadi salah satu isu yang harus ditangani, mulai dari kebiasaan membuang sampah di 390 sungai yang bermuara ke laut sebesar 33 ribu ton tahun 2019 (berdasarkan survei Bali Partnership), sampai dengan sampah yang mengotori jalanan pulau dewata. Yang memprihatinkan, sebagian besar sampah merupakan sampah plastik yang sulit terurai.

Darurat sampah dalam pengelolaan destinasi wisata harus digemakan dan menjadi program aksi seluruh stakeholder. Ada tiga usulan peran yang dapat dilakukan masyarakat dan pemerintah untuk mengendalikan sampah di destinasi wisata.

Baca juga:  Bali Darurat Sampah, Perlu Upaya Bersama Mengatasi

Pertama, pariwisata yang bertanggung jawab patut dipromosikan sebagai perilaku dan gaya hidup wisatawan yang dibutuhkan selama berwisata. Untuk membangun perilaku bertanggung jawab selama berwisata, pemerintah perlu melibatkan kaum muda (kalangan milenial) mengampanyekan dan mempraktekkan kegiatan berwisata sambil merawat dan mencintai alam.

Fenomena yang juga bisa dimaknai peluang atau ancaman yang kerap dikemukakan untuk memotret pariwisata bertanggung jawab adalah hasil survey
yang dianalisir oleh PATA (Pacific Asia Travel
Association). Disebutkan bahwa wisatawan rela
membayar lebih mahal 10-50% untuk liburan terkait pelestarian budaya dan lingkungan.

Sebaliknya, destinasi wisata akan ditinggalkan bila tidak memiliki alam dan budaya yang lestari. Isu kelestarian budaya dan lingkungan (ketersediaan air dan udara bersih) telah merasuki industri pariwisata Eropa yang dirintis oleh The Association of Independent Tour Operators (AITO).

AITO merumuskan 5 tanggung jawab yang diemban oleh para anggotanya. Pertama, melindungi lingkungan hidup (flora, fauna, landscapes). Kedua, menghormati kebudayaan lokal (tradisi, religi dan bangunan bersejarah). Ketiga, memberikan keuntungan pada masyarakat lokal. Keempat, konservasi sumber daya alam. Kelima, meminimalkan polusi (suara, air dan udara). Secara spesifik, anggota AITO menjalankan kebijakan usahanya dengan mengacu pada komitmen organisasi.

Baca juga:  Soliter, Solider, Survival Saat Covid-19

Kedua, koordinasi peran pemerintah yang terintegrasi seperti penanganan Covid-19 yang dikomando oleh tim satgas.

Tim yang dikoordinir Kemenko Marves dalam hal ini, telah merumuskan lima rekomendasi untuk mengendalikan sampah. Yakni, kolaborasi dengan swasta, mengelola sampah sedekat mungkin dari hulu sampai hilir, memastikan Indonesia sebagai destinasi yang bersih dan nyaman selama rangkaian KTT G20,
pengelolaan sampah di daerah dengan teknologi RDF (Refuse Derived Fuel) dan pembangunan TPST (Tempat Pengelolaan Sampah Terpadu), serta mengoptimalkan pemanfaatan fasilitas pengolahan sampah di tingkat daerah (TPS-3R/Tempat Pengelolaan Sampah dengan Pola Reduce,
Reuse, Recycle, PDU/Pusat Daur Ulang, TPST/
tempat pengolahan sampah terpadu, TPA/Tempat
Pemrosesan Akhir).

Baca juga:  Dua Pantai Ini Kebanjiran Sampah Plastik

Ketiga, dunia usaha patut mendukung dengan mengedukasi dan melibatkan wisatawan melalui kebijakan pro environment. International chain hotel, juga hotel nasional kita, memiliki kebijakan mengurangi emisi karbondioksida dan meningkatkan pemakaian energi terbarukan, menghimbau tamu manakala mengingingkan handuk yang habis dipakai untuk dicuci, maka diletakkan di lantai.

Jika tidak, handuk tidak dicuci. Salah satu jaringan hotel internasional bahkan berkomitmen mengurangi
pemakaian air sampai 20% per kamar hotel per
tahun, mendukung pengurangan alih fungsi hutan dan juga mengikat para supplier untuk pro-environment, tidak menyediakan botol berbahan plastik dalam ruang meeting, kamar dan restoran, tidak menggunakan table cloth, melarang pemakaian bunga potong, penggunaan alat tulis olahan limbah.

Melalui kolaborasi tiga peran ini, kiranya peningkatan people mobility dapat menjadi sarana pembelajaran bagi semua pihak untuk melestarikan alam, mengurangi dan mengelola sampah, bijak menggunakan air dan energi.

Penulis, Dosen Hotel & Tourism Business, School of Tourism, Universitas Ciputra Surabaya

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *