Dwi Atmika Arya Rumawan. (BP/Istimewa)

Oleh Dwi Atmika Arya Rumawan

Nilai Tukar Petani (NTP) adalah indikator untuk mengukur dan meningkatkan daya beli petani agar terjadi pergerakan perekonomian masyarakat di perdesaan karena sebagian besar masyarakat memiliki mata pencaharian di sektor pertanian dalam arti luas. Tingkat kesejahteraan petani sering diukur dengan NTP, semakin tinggi NTP, relatif semakin sejahtera tingkat kehidupan petani, demikian juga sebaliknya. Menurunnya angka indeks NTP ini antara lain disebabkan petani sangat tanggap terhadap perkembangan teknologi yang lebih cepat di bandingkan perkembangan harga sehingga perkembangan produksi meningkat cepat melebihi kemampuan “pasar” untuk menyerap, sehingga terjadi penurunan harga.

Untuk menjaga harga pasar hasil produk petani, maka diperlukan campur tangan pemerintah yang lebih inten dan tepat waktu serta berkelanjutan. Demikian juga Ketika memasuki Pandemi Covid–19, pemerintah meningkatkan NTP untuk menjaga stabilitas produksi baik kwalitas maupun kwantitas dan kontinuitasnya serta menjaga agar petani tetap berproduksi dengan meningkatkan pemantauan protocol kesehatan sampai kedesa desa lebih serius dan berkelanjutan sehingga di desa terpantau dan terjamin kwalitas kesehatannya.

Baca juga:  Bappenas Siapkan Empat Strategi Perkuat Ketahanan Ekonomi

Perubahan nilai tukar petani (NTP) dalam kenyataannya lebih merugikan daripada menguntungkan petani, artinya di dalam berusahatani, pendapatan yang diterima petani lebih kecil daripada biaya produksi atau perubahan rasio pendapatan di sektor pertanian terhadap pendapatan di sektor non-pertanian cenderung lebih sering negatif daripada positif, oleh karena itu NTP ini mempunyai korelasi positif dengan kemiskinan. Tahun 2019 terlihat dalam Data Statistik indeks NTP masih di atas 100.

Kondisi covid yang dimulai awal 2020 membawa dampak menurunnya NTP di angka rata rata 93,75 kemudian menurun lagi memasuki tahun 2021 walaupun tidak begitu dalam, sehingga perlu berbagai upaya strategis untuk menjaga dan mengangkat atau menaikan untuk mencapai  NTP =/>100 agar petani bisa tetap eksis ditengah Pandemi Covid -19 .

Baca juga:  Indeks NTP Bali Belum Pulih

Terjadinya pergeseran tenaga kerja besar besaran (De Urbanisasi) ke sektor pertanian karena yang semula menjadi idola (pariwisata) serta kegiatan pendukungnya sebagian besar sudah “kolaps”, merupakan tantangan baru ditengah pandemi Covid-19, hal ini juga menjadikan salah satu beban baru di pedesaan yang perlu mendapatkan penanganan yang lebih komprehensif.

Hal ini perlu dilakukan sinergitas program Kesehatan dengan Pertanian,  dan Pemerintah Daerah punya komitmen mendukung melalui APBD yang nantinya akan berimbas pada penguatan pangan dan nutrisi daerah sehingga kesehatan masyarakat tetap terjaga untuk mampu bertahan ditengah Pandemi Covid-19, jadi tidak direct penanganannya melalui kesehatan tapi melalui peningkatan pangan dan nutrisi.

Baca juga:  NTP Bali Terus Turun, Ini Subsektornya

Petani pasti tidak bisa sendiri, perlu pengawalan dan pendampingan dari pemerintah dan membuat program pendampingan kepada petani dari on hingga off untuk dapat meningkatkan NTP. Menurut Suharso, dalam upaya pencapaian target peningkatan NTP maka diperlukan strategi jalur ganda antara lain: Pertama, menurunkan biaya produksi usahatani dengan program padat karya. Kedua meningkatkan akses pasar dan distribusi produk pertanian, memaksimalisasi sistem rantai dingin, hilirisasi nilai tambah, penetapan harga acuan, pembentukan korporasi petani dan membangun kondisi pasar pertanian yang adil bagi produsen dan konsumen.

Dalam situasi Pandemi, NTP di Bali sebaiknya tidak turun, karena merupakan satu satunya sektor yang paling populis dan favorit masih mampu bertahan dengan kondisi ekonomi terkoyak terutama yang disebabkan oleh sektor pariwisata beserta ikutannya.

Penulis, Analis Kebijakan Ahli Madya Kabupaten Badung

BAGIKAN