Putu Eka Wirawan. (BP/Istimewa)

Oleh Putu Eka Wirawan

Hingga kini Bali masih siaga Covid, sehingga sistem zonasi masih berlangsung tanpa ada kepastian akan berakhir. Pariwisata sebagai entitas utamanya telah ditata dengan berbagai stimulus agar ekonomi masyarakat berangsur pulih kembali.

Mulai dengan pemusatan kegiatan pemerintah pusat, melangsungkan acara G20, memainkan sepak bola liga nasional, pembukaan jalur penerbangan internasional, hingga rencana pembangunan rumah sakit internasional di Bali. Hampir satu abad, Bali sudah dikenal dunia karena panorama alamnya.

Pemerintah kolonial pun menjadikannya sebagai sumber kekayaan lain di luar hasil buminya. Setelah Indonesia merdeka, pendekatan pariwisata di Bali mengalami pergeseran.

Budaya dan warisan leluhur dijadikan garda terdepan dalam merevitalisasi pariwisata, karena ancaman globalisasi dan pergeseran budaya lokal pada generasi Bali semakin kentara. Fenomena tersebut diperkuat dengan aturan dan keputusan politik yang mengikat. Baik di tataran provinsi hingga kabupaten atau kota memunculkan Perda Pariwisata Budaya.

Semua atraksi dan akomodasi pariwisata berlomba-lomba menampilkan khasanah Bali. Puncaknya, konsep Tri Hita Karana mewarnai berbagai ruang publik, baik di tataran praktis maupun akademisi untuk memperbincangkannya dalam berbagai bentuk dan narasi di berbagai media.

Baca juga:  Menata Pariwisata Pascapandemi

Budaya dan pariwisata Bali serta pandemi COVID-19 adalah tiga hal yang selalu muncul dan menjadi berita utama di berbagai media nasional dan internasional, selama dua tahun terakhir. Lalu bagaimana nasibnya kini, di tengah pandemi yang mulai tidak mengintai Bali?

Dan bagaimana nasibnya kelak setelah corona tidak ada di Pulau Dewata? Apakah pariwisata budaya akan tetap menjadi satu-satunya roh pariwisata Bali?

Berbagai hipotesa mulai bermunculan. Berbagai keluhan antre berdatangan. Rasa cemas pun wajar dimunculkan. Tapi tak sedikit pula yang girang menanti kehadiran, bagaimana wajah pariwisata Bali ke depan.

Pascarencana dibangunnya rumah sakit internasional jika menjadi kenyataan. Adakah dampak negati pada wisata budaya yang ditimbulkan? Bagaimanakah dampak positif bagi perekonomian Bali di masa mendatang?

Masih terngiang di kepala kita, beberapa bulan atau bahkan minggu yang lalu kita disuguhi sebuah fakta
ditempatkannya Bali sebagai tuan rumah dari pertemuan Presidensi Group of Twenty (G20) dan mulai dibangunnya Bali International Hospital yang bekerja sama dengan Mayo Clinic dari Amerika serta wacana diselenggarakannya Motor GP 2022 di Mandalika Lombok.

Baca juga:  Buka Pariwisata Bertahap, Waspadai ‘’Second Wave’’ COVID-19

Adapun dampak dari itu semua adalah pariwisata Bali kembali dipersolek oleh pemerintah pusat dengan mempercantik destinasi dan kelengkapan akmodasinya. Bali yang selama beberapa dekade dikenal sebagai wisata alam dan budayanya, maka
dalam waktu mendatang potensi tersebut akan
bergeser ke wisata kesehatan.

Dengan adanya Bali International Hospital wisatawan mancanegera dan khususnya masyarakat nusantara
yang selama ini berobat ke luar negeri seperti Singapura, pun akan berpikir ulang. Di sisi lain, kehadiran rumah sakit internasional di Bali yang dibarengi dengan adanya event-event internasional juga menjadi pemicu lainnya.

Hadirnya rumah sakit internasional di Bali yang terletak di Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) kawasan wisata Sanur adalah potensi besar memunculkan health tourism level internasional. Namun di sisi lain pariwisata budaya yang mengedepankan tradisi dan kearifan lokal masyarakat Bali tidak boleh tergerus olehnya.

Baca juga:  Tinjau Kesiapan New Normal, Menparekraf Tekankan Ini Untuk Pariwisata Bali

Justru dengan hadirnya wisatawan mancangera
yang semula bertujuan untuk berobat, akan menjadi kesempatan bagi masyarakat Bali untuk memperkenalkan budayanya melalui parwisata.
Selain itu, munculnya wisata kesehatan internasional di Bali juga harus dibarengi dengan peningkatan kualitas usaha ekonomi kreatif dari kelompok UMKM Bali agar menarik minat wisatawan asing.

Karena tingginya jiwa seni masyarakat lokal Bali yang selama ini dijual di artshop adalah daya tarik tersendiri bag turis asing. Dengan demikian, hadirnya health tourism di Bali justru semakin memperkuat
identitas Bali sebagai ikon wisata budaya.

Melalui Bali, Indonesia akan semakin dikenal dunia sebagai destinasi wisata kesehatan yang dipadu dengan wisata alam dan budaya.

Penulis, Dosen Institut Pariwisata dan Bisnis Internasional

BAGIKAN