
DENPASAR, BALIPOST.com – Fenomena banjir yang semakin sering terjadi di Bali bedampak negatif terhadap sektor pariwisata. Jumlah kunjungan wisatawan saat ini mengalami penurunan cukup tajam. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, penurunan kunjungan diperkirakan mencapai 35 hingga 40 persen. Demikian diungkapkan Ketua PHRI BPC Kota Denpasar, IB Gede Agung Sidharta Putra, Selasa (16/12).
Ia mengungkapkan musim hujan disertai banjir di sejumlah wilayah Bali memberikan dampak signifikan terhadap kinerja pariwisata, khususnya penurunan tingkat hunian dan kunjungan wisatawan.
Menurut pria yang biasa dipanggil Gus De ini, hujan dengan intensitas relatif singkat kini sudah memicu banjir dan gangguan akses, sehingga menurunkan rasa aman dan kenyamanan wisatawan. Kondisi tersebut berpotensi mendorong wisatawan menunda perjalanan atau mengalihkan tujuan ke destinasi lain yang dinilai lebih aman dan kering, seperti kawasan Pasifik dan Australia.
“Persepsi keamanan sangat berpengaruh. Ketika Bali dianggap rawan banjir dan berbahaya, wisatawan bisa memilih menunda perjalanan atau mengalihkan tujuan,” ujarnya.
Ia mencatat, tingkat kunjungan wisatawan saat ini mengalami penurunan cukup tajam. Dibandingkan periode yang sama tahun lalu, penurunan kunjungan diperkirakan mencapai 35 hingga 40 persen. Padahal pada November–Desember 2024, tingkat okupansi hotel masih berada di kisaran 75–80 persen.
Selain faktor cuaca ekstrem, Gus De menyebut penurunan kunjungan juga dipengaruhi oleh akumulasi sentimen negatif, mulai dari kemacetan lalu lintas, banjir, persoalan sampah, hingga kondisi overkapasitas di sejumlah destinasi wisata.
“Kalau isu-isu ini terus berulang, dampaknya bukan hanya jangka pendek, tapi juga bisa memicu peringatan perjalanan dari negara asal wisatawan,” katanya.
Kesiapan Mitigasi Bencana
Gus De menegaskan, tantangan terbesar saat ini adalah kesiapan pemerintah dalam mitigasi bencana. Ia mendorong pemerintah daerah untuk segera memperkuat langkah antisipasi, mulai dari pembersihan saluran air dan pengelolaan sampah, kesiapan sarana prasarana, hingga koordinasi lintas instansi seperti BPBD dan fasilitas kesehatan.
“Kesiapan saat banjir terjadi sangat penting, termasuk alat evakuasi, akses rumah sakit, dan sistem penanganan darurat. Ini untuk meyakinkan wisatawan bahwa Bali siap dan aman,” jelasnya.
Ia juga menyoroti persoalan pengelolaan sampah yang dinilai masih menjadi salah satu penyebab utama banjir. Menurutnya, penutupan atau keterbatasan fasilitas TPA tanpa solusi alternatif yang jelas berpotensi memperparah kondisi, karena sampah akhirnya menumpuk di selokan dan saluran air.
PHRI Denpasar berharap pemerintah segera melakukan langkah konkret dan konsisten agar persoalan banjir, sampah, dan kemacetan tidak terus berulang. “Yang terpenting sekarang adalah keselamatan dan rasa aman, baik bagi wisatawan maupun masyarakat Bali,” pungkas Gus De.
Sementara itu, Guru Besar Ilmu Pariwisata Berbasis Lingkungan Universitas Udayana, Prof. Dr. I Nyoman Sunarta, M.Si. menerangkan, wisatawan yang telah membeli tiket pesawat dan memesan akomodasi, terutama untuk periode libur Natal dan Tahun Baru, umumnya tetap datang ke Bali. Namun, banjir memengaruhi pilihan lokasi menginap dan persepsi kenyamanan wisatawan.
“Wisatawan yang sudah terlanjur booking tetap datang, tetapi mereka akan menghindari kawasan yang rawan banjir. Daerah seperti Canggu, Bali selatan yang sering tergenang akan dipertimbangkan ulang, dan wisatawan cenderung memilih lokasi yang dianggap lebih aman,” ujarnya.
Dampak Banjir Bersifat Akumulatif
Ia menegaskan, dampak banjir terhadap pariwisata bersifat akumulatif dan jangka panjang. Bila penyebab banjir ini tidak segera ditindaklanjuti maka dampak ke depan akan kian parah.
Semua paham apa penyebab banjir. Jika kondisi lingkungan tidak segera dibenahi, citra Bali sebagai destinasi berbasis alam dan budaya akan terus tergerus. “Setiap hujan banjir justru makin besar. Ini bisa diprediksi karena persoalannya bukan cuaca semata, tetapi kerusakan lingkungan dan alih fungsi lahan yang tidak terkendali,” katanya.
Prof. Sunarta menilai diskursus pariwisata Bali saat ini terlalu banyak membahas konten dan promosi, sementara fondasi utamanya alam, budaya, dan masyarakat justru mengalami degradasi. Padahal, daya tarik utama Bali sangat bergantung pada kualitas lingkungan dan kesejahteraan masyarakat lokal.
Kondisi terjadi saat ini, bagaimana berbicara quality tourism? Quality itu berbicara apa yang dijual dan masyarakat Bali dapat tidak manfaat dari perkembangan pariwisata ini.
“Kalau alam rusak, budaya juga ikut terdampak. Bagaimana kita mau menjual pariwisata budaya kalau ruang hidup masyarakatnya sendiri bermasalah,” tegasnya.
Kondisi terjadi saat ini, ia mendorong pemerintah agar tidak lagi berfokus pada peningkatan kuantitas kunjungan, melainkan tegas memperbaiki tata ruang, menghentikan alih fungsi lahan yang berlebihan, dan menuntaskan persoalan banjir dari hulunya.
“Ini saatnya Bali tidak hanya dikunjungi, tapi dihormati. Pemerintah harus tegas, meskipun itu tidak populer. Kalau tidak, kondisi pariwisata justru akan makin memburuk ke depan,” ujar Prof. Sunarta.
Ia menambahkan, perbaikan pariwisata Bali harus dimulai dari keberpihakan pada alam dan budaya, karena keberlanjutan sektor ini sangat bergantung pada keseimbangan antara pembangunan, lingkungan, dan kehidupan masyarakat lokal.
Saatnya Membangun Komitmen Bersama
Ketua Ikatan Doktor Pariwisata Unud ini menegaskan Bali sudah saatnya membangun komitmen bersama agar pariwisata dikembangkan secara berkualitas dan berkelanjutan, bukan lagi mengejar jumlah kunjungan semata.
Menurutnya, Bali harus “dihormati”, artinya siapa pun yang tinggal, berusaha, dan beraktivitas di Bali wajib tunduk pada komitmen menjaga alam, budaya, dan tatanan sosial. Komitmen tersebut harus menjadi arah kebijakan lintas sektor, termasuk dalam politik pembangunan.
“Bali sebagai destinasi harus berkualitas. Daya tarik utamanya alam dan adat budaya. Kalau ingin itu berkualitas, maka masyarakat lokalnya harus berkualitas dan dilibatkan. Ketika kualitasnya terjaga, wisatawan yang datang juga akan otomatis lebih berkualitas,” ujar Prof. Sunarta.
Ia menekankan bahwa paradigma semakin banyak wisatawan semakin baik sudah tidak relevan. Menurutnya, membuka pintu Bali terlalu lebar justru mempercepat kerusakan lingkungan dan menurunkan kualitas destinasi.
“Bali tidak bisa terus mengejar kuantitas. Uang yang didapat tidak sebanding dengan biaya pemulihan lingkungan. Kerusakan akibat banjir saja bisa menelan biaya triliunan rupiah, dan itu tidak akan tertutup oleh pendapatan pariwisata,” tegasnya.
Prof. Sunarta menilai, lebih baik Bali membatasi pertumbuhan kunjungan dan menata kualitas pariwisata dibanding terus menanggung beban ekologis di kemudian hari. Ia mencontohkan sejumlah daerah lain yang mulai mengarah pada pembatasan dan penguatan kualitas destinasi sebagai strategi keberlanjutan.
“Kalau daerah lain sudah berani membatasi demi keberlanjutan, Bali justru jangan tertinggal. Ini saatnya beralih dari pariwisata kuantitatif ke pariwisata berkualitas, agar alam terjaga dan masyarakat tetap sejahtera,” ucapnya. (Suardika/bisnisbali)










