Seorang warga menerima suntikan vaksin COVID-19. (BP/eka)

DENPASAR, BALIPOST.com – Seorang ibu ragu-ragu divaksinasi begitu mendengar bahwa vaksin yang digunakan adalah AstraZeneca. Setelah ditelusuri, sang ibu ini ternyata banyak mendengar dan membaca adanya kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI) dari vaksin AstraZeneca, bahkan yang berujung pada kematian.

Keengganan divaksinasi dan pilih-pilih merek vaksin saat ini banyak muncul karena beredarnya informasi salah bahkan hoaks seputar vaksinasi COVID-19. Kondisi ini, tentu saja menyulitkan proses pencapaian herd immunity (kekebalan kelompok) yang diharapkan bisa segera terbentuk sehingga masyarakat bisa beraktivitas di tengah pandemi COVID-19 dengan aman dan mengurangi kesakitan serta kematian akibat penyakit ini.

Tak hanya di Indonesia, hoaks seputar vaksinasi juga banyak beredar di negara-negara lain, bahkan di negara maju seperti Amerika Serikat. Adanya informasi salah maupun hoaks ini, menyebabkan banyak warga enggan divaksinasi.

Guna meningkatkan cakupan vaksinasi, California, salah satu negara bagian AS, bahkan menawarkan $ 116,5 juta (Rp 1,6 triliun) dalam bentuk tunai dan kartu hadiah kepada penduduk yang mendapatkan vaksinasi COVID-19 sebelum 15 Juni. Ini merupakan insentif terbaru dan dinilai paling menguntungkan.

Negara bagian itu putus asa untuk membujuk warganya yang terlambat divaksinasi dan skeptis untuk mendapatkan suntikan. Langkah Gubernur Demokrat Gavin Newsom itu adalah bagian dari upaya untuk meningkatkan vaksinasi saat negara bagian itu bersiap untuk membuka kembali ekonominya sepenuhnya pada 15 Juni.

Indonesia sejauh ini memang belum sampai menawarkan hadiah berupa uang untuk mengajak warga agar mau divaksinasi. Cakupan vaksinasi di Indonesia pun terbilang cukup tinggi, bila dibandingkan banyak negara yang ada di dunia.

Per data 3 Juni, dikutip dari website resmi penanganan COVID-19 nasional, dari sasaran vaksinasi sebanyak 181.554.465 orang atau sebanyak 70 persen dari total penduduk Indonesia 270.203.911 orang berdasarkan data Sensus Penduduk 2020, sebanyak 17.042.850 orang sudah memperoleh vaksinasi dosis 1. Sementara untuk dosis 2, terdapat 10.984.900 orang.

Baca juga:  Korban Jiwa COVID-19 di Bali Bertambah Banyak, Pasien Sembuh Baru Capai Ratusan Orang

Soal hoaks ini, Dr Julitasari Sundoro, MSc, MPH, pemerhati imunisasi, mengaku tidak
mengerti kenapa orang-orang mau repot-repot membuat hoaks. “Karena hal ini merugikan
program vaksinasi, sehingga berimbas pada rendahnya cakupan vaksinasi, tidak hanya vaksinasi COVID-19,” terangnya dalam Dialog Produktif KPCPEN bertema Hindari Hoaks seputar Vaksinasi, Kamis (3/6), dipantau dari Denpasar.

Ia pun berpesan agar masyarakat harus mendapat penjelasan dari institusi yang kredibel
dan dapat dipercaya. “Institusi seperti Kemenkes dan Kemkominfo perlu jadi rujukan agar
masyarakat jangan menelan mentah-mentah suatu berita dan informasi. Kita harus cek kembali kalau ragu dan tidak langsung menyebarkannya,” ujarnya.

Seperti halnya menjawab keraguan masyarakat terhadap kandungan vaksin COVID-19, Dr.
Julitasari menerangkan sebenarnya kandungan vaksin COVID-19 ini adalah antigen dari virus
SARS-CoV-2, yang diperlukan untuk membentuk antibodi. “Apabila mendengar ada demam atau bengkak di tempat penyuntikan, itu adalah hal yang biasa saja dalam proses pembentukan antibodi dalam tubuh manusia. Reaksi-reaksi ringan akibat divaksinasi itu bisa hilang dalam satu dua hari. Dalam kartu vaksinasi pun sudah diberikan nomor kontak untuk menghubungi apabila terjadi kejadian ikutan pasca imunisasi (KIPI),” ujar Dr. Julitasari.

Salah satu vaksin COVID-19 yang digunakan untuk program vaksinasi nasional adalah
AstraZeneca. “Vaksin AstraZeneca hadir di Indonesia sehubungan dengan adanya regulasi dari
Kemenkes bahwa vaksin ini akan digunakan untuk program vaksinasi nasional. Tentu dasarnya adalah pertimbangan ilmiah dan medis, sehingga kita harus percaya pemerintah kita telah melakukan evaluasi mendalam sehingga vaksin-vaksin yang telah ditetapkan layak untuk membentuk herd immunity bagi masyarakat Indonesia,” ungkap Rizman Abudaeri, Direktur AstraZeneca Indonesia.

Baca juga:  Dua RT di Jakarta Masuk Zona Merah Covid-19

Rizman juga menambahkan ketika vaksin akan dipergunakan oleh suatu negara, harus
mendapatkan izin oleh otoritas negara tersebut. Khusus untuk Indonesia vaksin harus mendapat
izin dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (Badan POM). “Khusus untuk vaksin COVID-19 ini harus mendapatkan izin penggunaan darurat (Emergency Use Authorization/EUA), Semua vaksin tidak hanya AstraZeneca harus melalui persetujuan Badan POM. Kemudian ada juga persyaratan WHO, yakni vaksin yang dikatakan efektif memiliki efikasi lebih dari 50%,” ujar Rizman.

AstraZeneca sendiri hadir di Indonesia sejak 1971, dan pada masa pandemi ini AstraZeneca
bekerja sama dengan lembaga penelitian Oxford untuk mengembangkan vaksin COVID-19
dengan prinsip tidak mengambil keuntungan, lalu memproduksi vaksin sebanyak-banyaknya
untuk disebarkan secara luas dan merata ke semua negara. Saat ini Indonesia sendiri sudah
menerima kurang lebih 6 juta dosis AstraZeneca dari jalur COVAX Facility. “Sampai hari ini, ada 400 juta dosis vaksin COVID-19 AstraZeneca yang sudah diproduksi dan didistribusikan ke 165 negara di dunia. Lalu pada 165 negara dimana vaksin AstraZeneca diedarkan, selalu memantau perkembangan dari sisi keamanan dan efikasi vaksin COVID-19 tersebut,” terang Rizman.

dr. Suzy Maria, Sp.PD, Spesialis Penyakit Dalam turut menambahkan, “Sekarang masyarakat
memang banyak menanyakan soal keamanan vaksin COVID-19, namun di setiap kesempatan kami para dokter selalu memberikan informasi bahwa efek samping itu wajar terjadi pada vaksinasi. Oleh karena itu, masyarakat tidak perlu khawatir karena efek samping tersebut seringkali bersifat ringan.”

Ia mengatakan orang-orang dengan penyakit penyerta justru perlu dilindungi oleh vaksin COVID-19, karena apabila terinfeksi virus COVID-19, akan memperberat penyakit penyerta yang dideritanya. “Risikonya jauh lebih besar apabila tidak divaksinasi,” tambahnya.

Baca juga:  WNI ke Malaysia, Wajib Karantinanya Diperpanjang

Literasi Digital

Dari data Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo), per Maret 2021, setiap harinya terdapat 4-5 hoaks beredar. Dalam sebuah dialog soal hoaks ini, Donny Budi Utoyo, Tenaga Ahli Menteri Komunikasi dan Informatika menyampaikan, hoaks yang terkait vaksinasi sekarang ada 150. Itu terhitung sejak Oktober 2020.

Donny menyebutkan permasalahan hoaks ini tidak bisa diatasi satu pihak. “Penanganan hoaks harus komprehensif dari hulu ke hilir. Dalam konteks informasi ada istilah literasi digital, ini yang perlu didorong. Sementara pasal-pasal itu ada di bagian bawah (hilir), itu pun upaya terakhir jika memang di hulu kita sudah berusaha semaksimal mungkin, yang perlu diutamakan adalah kerjakerja kolaboratif para pemangku kepentingan,” terangnya.

Hal itu dibenarkan Septiaji Eko Nugroho, Ketua Presidium Masyarakat Anti Fitnah Indonesia
(MAFINDO). Ia menyebutkan hoaks memang dikemas dengan memikat melalui judul-judul yang sensasional.

Septiaji menjelaskan untuk melawan hoaks ini perlu waktu untuk membangun pemahaman
masyarakat yang kuat, “Literasi digital ini memang proses yang panjang, hasil dari literasi digital mungkin bisa dirasakan 5 – 10 tahun ke depan,” terangnya.

Intinya, strategi komunikasi untuk mencegah hoaks di kalangan masyarakat harus didukung semua kalangan, “Memang betul pemerintah harus turun tangan, tokoh masyarakat
dan tokoh agama juga harus turut membantu. Tapi kita semua yang punya gadget adalah prajuritprajurit perang untuk melawan hoaks. Sehingga daripada kita mengutuk gelap lebih baik kita menyalakan lilin. Maksudnya kalau kita ragu itu hoaks, jangan kita sebarkan,” tegas Donny. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *