PHRI
Ketua PHRI Bangli I Ketut Mardjana. (BP/nan)

Oleh Dr. I Ketut Mardjana

Setelah empat bulan kegiatan pariwisata total berhenti, kunjungan kerja Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, Wishnutama Kusubandio, ke Bali dari 16 sampai 18 Juni 2020 disambut bagaikan membawa angin segar bahwa kegiatan pariwisata akan segera dibuka kembali. Lebih-lebih memang agenda kunjungan ini adalah untuk cek kesiapan Bali dalam membuka kembali (reopening) sektor pariwisata.

Bahkan masyarakat semakin yakin setelah Gubernur Bali, I Wayan Koster, memberikan signal positif tentang rencana tahapan pembukaan sektor pariwisata Bali —meski pernyataan Gubernur Bali masih dianggap sedikit ‘berkulit’ karena mempergunakan bahasa: “ancang-ancang, bukan jadwal yang pasti untuk dilaksanakan” (Bali Post, 19 Juni 2020, hal 1)— yakni tanggal 9 Juli 2020 pariwisata akan dibuka khusus untuk masyarakat lokal. Kemudian pada bulan Agustus dilanjutkan pembukaan untuk pariwisata domestik nasional dan mulai bulan September akan dibuka untuk wisatawan mancanegara.

Walau dikatakan bukan sebagai jadwal pasti, masyarakat menangkap signal ini sebagai suatu yang pasti meskipun pelaksanaannya dapat sedikit bergeser. Pandangan ini mungkin dipengaruhi oleh faktor psikologis yang sangat menginginkan segera diperbolehkannya masyarakat untuk kembali melakukan kegiatan ekonomi.

Mereka sudah bosan tinggal di rumah, mereka tidak punya penghasilan dan mereka ingin beraktivitas kembali. Oleh karena itu, desakan untuk segera secara resmi dibukanya sektor ekonomi, termasuk sektor pariwisata terus mengalir.

Baca juga:  Calonarang dan Pendekatan Tolak Bala

Mereka melihat bahwa makin lama aktivitas masyarakat ditahan maka akan makin membahayakan ekonomi dan kehidupan masyarakat.

Oleh karenanya maka ‘petaka’ pariwisata yang terjadi dalam 4 bulan terakhir ini mempunyai pengaruh negatif kemana-mana. Pertumbuhan ekonomi Bali pada triwulan I tahun 2020 negatif 1,14%. Pertumbuhan ekonomi negatif ini memberikan indikasi lesunya pergerakan ekonomi Bali.

Sektor industri pendukung pariwisata berhenti beroperasi, sektor primer seperti hasil pertanian tidak terserap oleh pasar dan UMKM terpukul. Sekitar 1,2 juta pekerja kehilangan mata pencahariannya, di mana mereka harus berjuang untuk bisa mempertahankan hidup.

Secara kasat mata kita jumpai banyak pedagang telur ayam dan buah berjualan di Jalan Prof. Mantra, yang pada waktu pariwisata masih berjaya pemandangan ini tidak dijumpai. Atau hasil tomat dan cabai di daerah Songan, Kintamani membusuk karena tidak terserap oleh pasar.

Situasi ekonomi yang sangat mencekam ini membuat masyarakat luas terus medambakan dan bertanya, kapan keadaan akan kembali normal?. Pertanyaan ini sepertinya sangat wajar karena dalam masa COVID-19 ini mereka mengalami kehidupan yang ‘tidak normal’, aktivitas hanya dari rumah dan barangkali —setidaknya dalam kebanyakan dari anggota masyarakat mengalami ‘no income, spending yes.’

Tetapi tidak dapat dipungkiri, masih ada yang ragu, khawatir dan menganggap belum waktunya kegiatan pariwisata untuk dibuka kembali. Mereka mengatakan bahwa fakta lapangan masih menunjukkan angka penyebaran COVID-19 masih relatif tinggi di berbagai wilayah di Indonesia.

Baca juga:  Apa yang Salah dengan Pendidikan di Indonesia?

Mereka ini khawatir jika aktivitas masyarakat dibebaskan bisa memunculkan klaster dan pasien baru penderita COVID-19. Bahkan pandemi gelombang kedua bisa terjadi.

Secara moderat mereka mendorong kiranya relaksasi kehidupan masyarakat agar dilaksanakan bila tingkat paparan COVID-19 sudah tidak bertambah lagi. Tapi, Lagi-lagi pihak yang mendesak diberlakukannya kenormalan baru, New Normal, menyanggah hipotesis ini dengan mengatakan bahwa terhentinya pergerakan masyarakat dan kegiatan ekonomi menyebabkan pertumbuhan ekonomi akan terus negatif, tingkat kesejahteraan terus menurun, tingkat kemiskinan meningkat dan kelaparan akan semakin dirasakan oleh masyarakat.

Situasi seperti ini dalam pandangan mereka akan menimbulkan bahaya yang lain, yang dapat memicu tekanan sosial dan bahkan dapat mengganggu sektor keamanan, yang notabene akan memperkeruh situasi.

Dengan kondisi seperti ini, pembukaan kembali aktivitas ekonomi masyarakat sepertinya tidak perlu diperdebatkan lagi, tak ada pilihan lain kecuali ekonomi dibiarkan bergerak. Tentu harus dibarengi dengan penerapan protokol kesehatan yang tertib dan disiplin.

Kebijakan membuka kembali aktivitas ekonomi masyarakat, termasuk ekonomi pariwisata sudah dilakukan di banyak daerah. Pemerintah DKI Jakarta, Provinsi Jawa Timur, dan Jawa Barat yang tingkat penyebaran COVID-19 tergolong tinggi di banding Bali, sudah memulai langkah transisi menuju penerapan Kenormalan Baru.

Baca juga:  Investasi Pariwisata dan Hak Warga Pesisir

Obyek wisata Ancol, yang merupakan tempat wisata paling besar, ramai dan ternama di Jakarta dibuka pada 20 Juni 2020, Car Free Day tanggal 18 Juni 2020, Kebun Binatang Ragunan dan Pusat Pembelanjaan Modern dibuka 15 Juni 2020, demikian juga sejumlah kawasan pariwisata Jawa Barat, seperti Kawasan Wisata Puncak Jawa Barat dipadati pengunjung. Lalu mengapa harus membiarkan ekonomi pariwisata Bali stagnan?

Dalam konteks dilematis yang berkembang di masyarakat ini maka negara layak hadir secara bijak, adil dan konsisten. Meski masih merupakan ancang-ancang dibukanya kembali sektor pariwisata, pernyataan Gubernur disambut dengan berbagai persiapan untuk memulai kegiatan usahanya.

Pelaku pariwisata, hotel, restoran atau destinasi pariwisata mulai mempersiapkan diri untuk membuka kembali usahanya. Persiapan pelaksanaan protokol kesehatan hingga bersih-bersih dan persiapan segala peralatan penunjang mulai dilakukan.

Konsisten dan tidak setengah hati — khususnya dalam bidang pariwisata yang merupakan tulang punggung ekonomi Bali— akan menjembatani antara upaya memutus mata rantai penyebaran COVID-19 dan mengubah pertumbuhan ekonomi Bali dari negatif menjadi positif kembali.

Ketua PHRI BPC Bangli dan Ketua Badan Promosi Daerah Bangli

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *