Seorang pekerja medis menggunakan APD mengambil spesimen dari seorang warga yang tinggal di dekat Pasar Xinfadi di Beijing pada 14 Mei 2020. (BP/AFP)

BEIJING, BALIPOST.com – China melaporkan penambahan kasus positif COVID-19 harian tertinggi dalam berbulan-bulan, pada Minggu (14/6). Dikutip dari AFP, laporan adanya penambahan kasus ini memunculkan kekhawatiran gelombang kedua dari virus mematikan yang hingga kini belum ada obatnya itu.

Kekhawatiran munculnya kembali kasus-kasus infeksi domestik telah mengguncang China. Virus ini muncul pertama kali di akhir tahun 2019 dan telah bisa ditangani melalui sejumlah upaya ketat membatasi pergerakan manusia di seluruh dunia.

Beijing telah melakukan tes massal setelah 36 dari 57 kasus baru yang dilaporkan Minggu, berkaitan dengan sebuah pasar grosir di pusat kota.

Kota tersebut terus berupaya untuk menangani klaster COVID-19 yang baru, mengeluarkan peringatan perjalanan, menutup pasar, dan menerjunkan polisi paramiliter, serta menutup sejumlah perumahan yang dekat dengan klaster baru itu.

Baca juga:  COVID-19 Masih Makan Korban Jiwa di Bali, Hari Ini Ada Dua Warga Meninggal Beralamat Sama

Sebanyak 10 ribu orang telah menjalani tes di area merebaknya COVID-19, dengan tambahan 8 kasus baru didiagnosa pada Minggu.

“Saya pergi ke Pasar Xinfadi, saya ingin memastikan bahwa saya tidak terinfeksi,” kata seorang perempuan berusia 32 tahun bermarga Guo saat dirinya mengantre di sebuah stadion untuk melakukan tes.

Masa Depan Kelam

Adanya kemungkinan gelombang kedua ini juga memperlihatkan masa depan kelam bagi penanganan virus ini seiring makin banyaknya negara di Eropa membuka kembali wilayahnya untuk pelaku perjalanan dari negara lain di benua itu pada Senin (15/6). Terlebih, saat ini Italia juga tengah berperang melawan merebaknya COVID-19 di sejumlah lokasi.

Terdapat dua outbreak di Roma, dengan 109 orang terinfeksi, termasuk 5 kematian dan 15 kasus terdeteksi di sebuah gedung. “Ini artinya virus tersebut belum kehilangan kekuatan penularannya. Virus ini tidak melemah dan kita seharusnya tidak menurunkan kewaspadaan,” kata Deputi Direktur WHO, Ranieri Guerra.

Baca juga:  Karena Alasan Ini, Sistem Ganjil Genap di Kuta Belum Tepat Dilakukan

Ia mengatakan bahwa sejumlah klaster baru tidak terhindarkan, namun mereka ini jumlahnya terbatas oleh waktu dan ruang. “Kita memiliki alat untuk menekan dan mengarantinanya,” katanya.

India dan Iran kini tengah mengkhawatirkan meningkatnya kasus kematian sementara pandemi kini telah berpindah episentrum ke Latin Amerika. Iran yang merupakan negara di Timur Tengah yang terdampak paling parah, melaporkan kasus kematian yang jumlahnya meningkat pada Minggu. Tercatat lebih dari 100 orang meninggal dalam sehari, merupakan jumlah terbanyak selama 2 bulan terakhir.

Sudah lebih dari 430 ribu orang di seluruh dunia meninggal karena penyakit pernafasan ini. Pandemi ini kini menyebar dengan cepat di Latin Amerika, mengancam sistem pelayanan kesehatan di kawasan itu dan menimbulkan ketegangan politik.

Baca juga:  Tenaga Medis di Denpasar Terpapar COVID-19, Diduga Tertular Pasien Asal Lombok yang Sudah Meninggal

Brazil kini memiliki jumlah kematian terbanyak nomor dua di dunia setelah Amerika Serikat (AS) dan Menteri Kesehatan Chili telah mengundurkan diri pada akhir pekan lalu karena adanya kisruh terkait jumlah kasus kematian di negara itu.

Di AS, hampir selusin negara bagian, termasuk Texas dan Florida, melaporkan jumlah kasus kematian harian tertinggi dalam beberapa hari terakhir. Peningkatan jumlah kasus ini diperkirakan terjadi karena adanya protes antirasisme yang berlangsung di seluruh AS dan dunia, dengan ribuan orang membentuk rantai manusia dengan tetap memperhatikan jarak aman di Berlin pada Minggu. (Diah Dewi/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *