Kepala BPS Bali Adi Nugroho. (BP/dok)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali memasuki masa kekhawatiran yang amat dalam. Anjloknya sektor pariwisata membuat ekonomi Bali melambat, bahkan nyaris terjun bebas. Pada triwulan II 2020, ekonomi Bali bahkan diprediksi turun lebih dalam.

Karena triwulan I 2020 ekonomi Bali tumbuh -1,14 persen, padahal pada Januari 2020 kunjungan wisman masih ada. Sedangkan pada triwulan II yang terdiri dari April, Mei, Juni, kunjungan wisman sudah tiarap, sehingga pertumbuhan ekonomi triwulan II 2020 diprediksi turun lebih dalam lagi.

Kepala Badan Pusat Statistik Bali Adi Nugroho dalam acara Bisnis Bali News, Rabu (10/6) mengatakan, ancaman resesi membayangi Bali, karena triwulan II diprediksi akan turun lebih dalam. Jika suatu wilayah dalam triwulan berturut-turut pertumbuhan ekonominya negatif maka disebut resesi dan Bali sudah dalam ancaman itu. ‘’Jika ekonomi lesu, mandek, atau merosot, itu artinya kehidupan masyarakat di wilayah itu sengsara, dimulai dari pengangguran, akan banyak usaha yang menurun, dari yang besar mengecil, dari yang kecil tutup, itu hanya menyisakan tenaga kerja,’’ ungkapnya.

Pada masa resesi itu, katanya, akan banyak orang kesulitan memenuhi kebutuhan hidup. Dimulai dari mereka yang tidak punya cukup tabungan ditambah kondisi yang belum membaik, konsumsi terus bergerak, sehingga tabungan juga akan tergerus selama mereka belum mengakses lapangan kerja.

Baca juga:  Wujudkan Kedaulatan Ekonomi Bali

Masyarakat yang belum memiliki penghasilan ditambah suasana ekonomi sedang tidak bergairah, itulah yang akan dihadapi masyarakat ketika harus menghadapi situasi ekonomi yang secara teori dicerminkan dari menurunnya pertumbuhan ekonomi dalam dua triwulan berturut-turut. Meskipun kemerosotan ekonomi terjadi pada triwulan I 2020, namun masih ada sektor yang tumbuh positif tetapi bukan sektor utama Bali, yang banyak menghidupi masyarakat Bali seperti konstruksi, informasi komunikasi tumbuh kuat.

Adi Nugroho menambahkan, dalam perhitungan PDRB terdiri dari 17 kategori. Dari 17 kategori itu, masih banyak yang tumbuh positif karena yang tumbuh negatif hanya empat sektor yakni akmamin, transportasi dan pergudangan, industri pengolahan, perdagangan besar dan eceran dan jasa lainnya. Sementara sektor pertanian yang merupakan sumber pangan masyarakat pada triwulan I 2020 nyaris stagnan atau tidak tumbuh karena pertumbuhannya hanya 0,06 persen.

Baca juga:  2021, Bali Tak Boleh Hanya Andalkan Pariwisata

Di sisi lain, pertanian di Bali sejak 2010 sumbangannya terhadap perekonomian Bali konsisten menurun. Tahun 2010 sumbangannya masih 17,17 persen, tahun 2019 sumbangannya turun menjadi 13,53 persen, triwulan I 2020 sumbangannya turun 13,34 persen. Dengan kombinasi triwulan I tumbuh 0,06 persen dan pergerakan kontribusi yang terus menurun, maka tidak bisa mengandalkan pertanian untuk membantu meringankan beban.

Biasanya memang setiap kali ada krisis yang mengganggu perekonomian, salah satu pelariannya adalah sektor pertanian, karena sektor pertanian mampu menyerap tenaga kerja yang banyak dan tuntutan keterampilan tenaga yang diserap tidak tinggi. Artinya, siapa saja bisa masuk pertanian.

Tidak mustahil dari sekian orang yang drop out dari pekerjaan lama, masuk kembali ke pertanian. “Bukan hal mustahil penurunan sektor pertanian yang konsisten sejak 2010, paling tidak bisa membaik ketika orang berbondong-bondong berpindah ke sektor pertanian, sepanjang produktivitas pertaniannya kemarin tidak telanjur terbengkalai,” ujarnya.

Menurut Adi Nugroho, beralih ke sektor pertanian dalam situasi ini dilakukan untuk mengembalikan ekonomi Bali, maka akan sulit. Namun jika untuk menyelamatkan sebagian dari korban situasi COVID-19 ini, hal itu memungkinkan.

Baca juga:  Jadikan Ekonomi Bali Mandiri

Ia menambahkan, peluang lain yang masih bisa diharapkan untuk penyelamatan ekonomi adalah menjaga konsumsi rumah tangga (RT). Komponen pertumbuhan ekonomi Bali terdiri dari dua yaitu dari sisi pendapatan dan pengeluaran.

Dari sisi pendapatan, 50 persen sumbangannya dari sektor yang terkait pariwisata. Sedangkan dari sisi pengeluaran, 50 persen disumbang konsumsi rumah tangga. Maka ketika kesulitan menggerakkan dari sisi pendapatan (produksi) maka paling tidak Bali masih memiliki ruang yaitu menjaga konsumsi RT supaya tidak ikut jatuh.

Jika itu terjaga maka Bali masih memiliki harapan untuk melakukan perbaikan ekonomi. “Saya hanya ingin menegaskan bahwa Bali sedang tidak baik-baik saja. Situasi yang mengkhawatirkan ini, saya berharap dipahami semua pihak yang masih punya kekuatan untuk memperbaiki. Setelah memahami situasi itu sebaiknya bergerak, jangan memungkiri, mencari-cari pembenaran seolah-olah ini tidak benar-benar terjadi. Saya menegaskan ini benar-benar terjadi dan dengan memahami itu, ayo bareng-bareng kita cari peluang yang masih tersedia,” tegasnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *