Ilustrasi. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali mengeluarkan Instruksi Nomor 6 Tahun 2025 tentang Penghentian Sementara Pemberian Izin Toko Modern Berjejaring. Instruksi ini bertujuan untuk melindungi dan memberdayakan para pelaku usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Kebijakan ini pun diapresiasi.

Menurut Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Warmadewa (FEB Unwar), Dr. Ida Bagus Agung Dharmanegara, SE.,M.Si., Instruksi Gubernur Bali tentang Penghentian Sementara Pemberian Izin Toko Modern Berjejaring ini kembali menegaskan keberpihakan pemerintah daerah terhadap keberlangsungan UMKM di Bali.

Kebijakan ini lahir dari kekhawatiran bahwa ekspansi ritel modern yang tidak terkendali dapat menggerus ruang hidup pelaku usaha kecil, melemahkan pasar tradisional, dan pada akhirnya mengikis struktur ekonomi rakyat yang selama ini menjadi fondasi ekonomi Bali.

Secara prinsip, dikatakan moratorium ini memberi kesempatan bagi UMKM untuk bernafas lebih lega. Pertumbuhan pesat toko modern selama beberapa tahun terakhir telah menciptakan persaingan yang tidak seimbang.

Modal besar, jaringan distribusi nasional, serta strategi pemasaran agresif membuat toko modern unggul jauh dibanding warung dan toko tradisional. Tidak sedikit UMKM yang terdesak dan kehilangan pelanggan.

“Dengan moratorium ini, pemerintah mencoba mengembalikan keseimbangan agar ekonomi rakyat tetap mampu bertahan di tengah arus modernisasi,” ujarnya, Kamis (4/12).

Di sisi lain, kebijakan ini juga bertujuan menjaga identitas sosial-ekonomi Bali. Pasar tradisional, warung lokal, dan usaha keluarga merupakan bagian dari denyut budaya Bali yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan masyarakat. Ketika ritel modern tumbuh tanpa kendali, risiko homogenisasi ekonomi meningkat dan Bali bisa kehilangan karakter lokal yang justru menjadi daya tarik wisata.

Baca juga:  Ini, Dua Kabupaten Sumbang Kasus COVID-19 Harian Terbanyak

Namun demikian, kebijakan ini bukan tanpa konsekuensi. Dharmanegara mengatakan moratorium izin berpotensi memperlambat investasi baru di sektor ritel modern, yang sebenarnya memiliki peran dalam menyediakan barang dengan harga lebih kompetitif dan pelayanan yang lebih standar bagi masyarakat maupun wisatawan.

“Bila tidak diimbangi dengan peningkatan kualitas UMKM, konsumen justru bisa menghadapi harga yang lebih tinggi atau pilihan produk yang terbatas,” tandasnya.

Karena itu, keberhasilan moratorium ini sangat bergantung pada langkah lanjutan pemerintah. Penguatan UMKM harus dilakukan secara nyata. Mulai dari akses modal, pelatihan manajemen, hingga fasilitasi pemasaran dan digitalisasi.

Selain itu, pemerintah perlu menyiapkan regulasi yang lebih komprehensif seperti pengaturan zonasi, jarak antar toko, hingga mekanisme perizinan yang transparan agar ke depan, pertumbuhan ritel modern tetap terarah dan tidak merugikan ekonomi lokal.

“Moratorium ini adalah momentum. Bali sedang menentukan arah pembangunan ekonominya, apakah menyerahkan struktur perdagangan kepada mekanisme pasar bebas, atau menata kembali agar modernisasi tidak mematikan ekonomi rakyat. Dengan pengawasan yang kuat dan komitmen pemberdayaan UMKM yang konsisten, kebijakan ini dapat menjadi tonggak penting menuju ekonomi yang lebih inklusif modern, tetapi tetap berpijak pada kekuatan lokal,” tegasnya.

Hal senada juga dikatakan Akademisi Fakultas Ekonomi, Bisnis dan Pariwisata Unhi Denpasar, Gde Indra Surya Diputra S.E.,M.Si. Menurutnya, kebijakan Gubernur Bali ini merupakan langkah strategis yang perlu dianalisis dari perspektif perlindungan dan stabilitas UMKM, serta pembangunan sistem ekonomi bagi masyarakat dan juga keberlanjutan pembangunan Bali dalam jangka panjang.

Baca juga:  Jelang Natal, Peningkatan Arus Penumpang Mulai Terjadi di Bandara Ngurah Rai

Dalam kacamata akademis, kebijakan ini bisa dikatakan sebagai kesempatan untuk bernafas sedikit lebih panjang bagi UMKM dan pedagang tradisional yang selama ini bisa dikatakan terpinggirkan oleh persaingan tidak adil dari ritel modern. Kebijakan ini bertujuan untuk memperkuat rantai nilai lokal dan berkontribusi pada distribusi manfaat ekonomi yang lebih adil di tingkat lokal.

Dikatakan, kebijakan ini selaras dengan visi Ekonomi Kerthi Bali, yang berlandaskan pada konsep ekonomi yang berkeadilan, berbasi budaya, dan ramah terhadap komunitas lokal. Kondisi ini sejalan dengan teori pertumbuhan inklusif yang menekankan pentingnya menciptakan peluang bisnis yang setara melalui kebijakan korektif. Menghentikan izin baru bagi toko modern juga dapat mengurangi tekanan pada pasar tradisional dan toko-toko kecil yang telah menjadi penopang ekonomi masyarakat selama masa pandemi.

Namun, kebijakan ini perlu dilengkapi dengan pemikiran jangka panjang untuk menghindari ketidakefisienan. Menurut teori organisasi industri dan pasar kompetitif, pembatasan persaingan yang berkepanjangan dapat mengurangi efisiensi harga, variasi produk, dan kecepatan modernisasi rantai pasokan. Oleh karena itu, penting untuk menetapkan peta jalan, batas waktu, dan mekanisme evaluasi yang jelas dan detail guna mencapai keseimbangan antara perlindungan konsumen dan keamanan bagi UMKM.

Baca juga:  31 Tahun BRI Life Gelar My Life Festival

Sebaliknya, penghentian izin untuk ritel modern dapat mendorong pemerintah daerah untuk berinvestasi dalam peningkatan kapasitas UMKM, kualitas produk, standarisasi, sertifikasi, digitalisasi, serta akses permodal dan mitra Horeka yang lebih terstruktur. Bali memiliki profil ekonomi yang bisa dikatakan spesial.

Struktur PDRB bertumpu pada pariwisata namun menjadikan UMKM sebagai penyangga ketahanan ekonomi regional dalam menghadapi guncangan global. Oleh karena itu, kebijakan protektif ini berfungsi sebagai tindakan stabilisasi dan penyeimbangan untuk mengurangi ketergantungan pada ekonomi mono-sektoral.

Dari sudut pandang ketahanan budaya, dikatakan ada manfaat strategis memiliki UMKM. Terutama yang memproduksi barang berdasarkan adat istiadat, kuliner, kerajinan tangan, dan kebutuhan seremonial masyarakat Bali yang sulit digantikan oleh ritel modern. Namun, pemerintah perlu mempertimbangkan ancaman dari ritel semi-modern yang tidak sah, serta memperkuat mekanisme regulasi dan menjalin dialog yang jelas dengan investor ritel untuk menciptakan lingkungan bisnis yang mendukung.

Dengan kata lain, larangan pembatasan izin toko modern hanya akan berhasil sejauh mencerminkan transformasi makro ekonomi, UMKM yang lebih tangguh, harga yang stabil, layanan ritel yang berkualitas, keamanan bagi investor, dan pertumbuhan ekonomi Bali yang inklusif serta berkelanjutan. “Arahan untuk menghentikan izin bukan sekadar larangan, tetapi juga momentum untuk merestrukturisasi lanskap ritel Bali, sejalan dengan identitas budaya, pemulihan ekonomi masyarakat, dan jalur pembangunan masa depan Bali,” ujarnya, Kamis (4/12). (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN