ujian nasional
Sejumlah siswa SMPN 2 Tabanan saat mengikuti ujian nasional di ruangan milik gedung SD 6 Delod Peken. (BP/dok)

 

Oleh Kurniawan Adi Santoso

Wacana penghapusan Ujian Nasional (UN) sekarang sedang menjadi pembicaraan hangat di masyarakat, khususnya insan pendidikan. Di media sosial, berita dan keterangan Mendikbud Nadiem Makarim tentang wacana tersebut juga sedang menjadi viral.

Sekarang ini sedang dilakukan pengkajian, hasilnya belum diketahui secara pasti, apakah nantinya UN benar-benar dihapus atau diperbaiki pada hal-hal yang kurang atau tidak bisa dipertanggungjawabkan. Banyak anggota masyarakat yang menginginkan UN dihapus. Di sisi lain banyak juga yang ingin UN dipertahankan dengan perbaikan.

Secara keilmuan, untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik banyak cara bisa digunakan, salah satu cara yang sangat populer selama ini adalah dengan menyelenggarakan ujian. Dalam Ilmu Evaluasi Pendidikan dikenal ada dua jenis ujian, yaitu Ujian Prestasi (Achievement Test) dan Ujian Prediksi (Prediction Test). Dan UN termasuk jenis Ujian Prestasi dengan ketentuan penyelenggaraannya dilakukan di akhir program (post test).

Soalnya didasarkan kepada materi pembelajaran yang sudah diajarkan kepada peserta didik, hasilnya dijadikan sebagai faktor penentu kelulusan, dan lainnya. Lantas apa yang bermasalah dalam UN? Dilihat dari ketentuan penyelenggaraan di akhir program tidak masalah.

Ketentuan materi pembelajaran yang sudah diajarkan tidak masalah. Tetapi ketentuan faktor penentu kelulusan inilah yang bermasalah.

Pemerintah lewat UN telah merampas hak dan kewajiban guru untuk menguji dan menetapkan kelulusan siswa. Telah jelas dalam Pasal 58 (1) UU No. 20 Tahun 2003 dinyatakan bahwa evaluasi hasil belajar peserta didik dilakukan oleh pendidik untuk memantau proses, kemajuan, dan perbaikan hasil belajar peserta didik secara berkesinambungan. Ini berarti penentuan kelulusan siswa, ya… menjadi otonomi guru.

Baca juga:  UN dan Ujian Kesetaraan 2021 Ditiadakan

Akhirnya UN sebagai penentu kelulusan disudahi pada masa Mendikbud Anies Baswedan yang menghapus UN sebagai indikator kelulusan siswa. Meski begitu, pemerintah daerah tetap menjadikan UN sebagai prestasi pendidikan di daerahnya. Pemerintah daerah melakukan perankingan sekolah berdasarkan nilai UN.

Hal itu yang kemudian menimbulkan tekanan di lapisan bawah yakni guru dan murid. Proses pembelajaran di kelas masih saja mengutamakan mata pelajaran yang masuk UN. Pembelajaran yang seharusnya diwarnai diskusi, meneliti, mencipta teknologi sederhana, dan sebagainya menjadi dikesampingkan. Tiap hari murid “dijajah” dengan latihan beragam soal dari mapel UN. Pulang sekolah pun mereka masih ikut bimbingan belajar. Yang semata-mata agar dapat nilai UN yang memuaskan.

Bila orientasi pendidikan kita masih mengutamakan UN (kognitif), tentu sulit menginginkan sistem pendidikan yang dapat menciptakan link and match. Guru jadi enggan berinovasi.

Orientasi mengajarnya hanya memenuhi target menghabiskan materi dan memberi latihan soal UN pada siswa. Sehingga menjadikan siswa tidak memiliki kemampuan untuk menerjemahkan berbagai bidang keilmuan ke dalam realitas masyarakat.

Dalam beberapa tahun terakhir ini hasil UN, khususnya di SMP, MTs, SMA dan MA, tidak dijadikan faktor penentu kelulusan. Yang dijadikan faktor penentu adalah kesertaan dalam UN. Seorang peserta didik yang tidak mengikuti UN jelas tidak lulus. Tetapi seorang peserta didik yang mengikuti UN dimungkinkan lulus tanpa mempertimbangkan hasil UN yang diikutinya.

Baca juga:  Hari Pertama UN SMA/SMK di Tabanan, Akses Data Ngadat hingga Soal Tertukar

Implikasinya, seorang peserta didik yang hasil UN-nya sangat rendah misalnya hanya 10.00 dari 100.00 dimungkinkan lulus. Dan faktanya memang banyak peserta didik yang lulus meskipun hasil UN-nya rendah atau sangat rendah.

Realitas seperti itu telah menimbulkan banyak masalah di lapangan. Di antaranya banyak peserta didik yang mengikuti UN tidak sepenuh hati, tidak memiliki persiapan maksimal. Bahkan banyak yang asal-asalan dalam arti asal ikut, asal menjawab materi soal dan lain-lainnya.

Dengan kondisi seperti ini tentu hasil UN yang diperoleh tidak mencerminkan kualitas pendidikan yang sesungguhnya, baik secara individual maupun kolektif. Kalau hasil UN seperti di atas dijadikan dasar untuk melakukan pemetaan kualitas, maka pemetaan yang diperoleh juga tidak mencerminkan kualitas pendidikan yang sesungguhnya. Sayang, biaya ratusan miliar rupiah yang digunakan untuk penyelenggaraan UN tidak sepadan dengan hasil yang diperoleh.

Apakah UN harus dihapus? Sejauh hasil UN tidak menentukan kelulusan sebaiknya UN dihapus. Kalau UN dihapus, bagaimana solusi untuk memetakan sekaligus meningkatkan kualitas pendidikan?

Alternatif pertama, UN tetap diselenggarakan dengan pembenahan yang tepat secara keilmuan dan secara proses. UN sesungguhnya bisa dipakai untuk meningkatkan motivasi belajar, maka harus bisa mengukur hasil belajar siswa. Soal UN harus diujicobakan terlebih dahulu pada sampel yang cukup besar. Kemudian diadakan analisis untuk menentukan validitas maupun reliabilitas soal secara keseluruhan. Sehingga soal pada UN benar-benar bisa mengukur hasil belajar siswa. Dan yang terpenting prosesnya harus mengutamakan karakter kejujuran.

Baca juga:  Budaya Membaca dan Perpustakaan

Alternatif kedua, UN segera dihapus dan diganti dengan metode lain untuk mengevaluasi hasil belajar peserta didik. Misalnya dengan Evaluasi Berkala, Uji Pencapaian Standar, Uji Kemampuan Berbasis Kurikulum, dan masih banyak metode yang lainnya.

Kemudian, untuk memetakan kualitas pendidikan yang semula dengan UN, maka hendaknya diganti dengan instrumen akreditasi sekolah. Kemendikbud bisa memakai akreditasi sekolah untuk melacak kualitas pendidikan tiap sekolah. Di dalam akreditasi sekolah tercermin kelebihan dan kekurangan sekolah dalam menyelenggarakan pendidikan. Ini akan lebih memudahkan pemerataan kualitas pendidikan di Tanah Air.

Apakah itu semua harus diputuskan oleh Nadiem selaku Menteri Pendidikan? Benar! Tetapi dalam proses pengambilan keputusan harus memperhatikan pendapat guru yang memiliki pengalaman empiris di lapangan yang dalam hal ini di sekolah dan madrasah. Sudah saatnya pendapat guru dijadikan pertimbangan dalam membuat keputusan pendidikan yang strategis, termasuk keputusan menghapus atau tidak menghapus UN.

Penulis, guru SDN Sidorejo Kab. Sidoarjo, Jatim

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *