Ilustrasi PNS. (BP/dok)

Oleh Umar Ibnu Alkhatab

Perilaku birokrasi kita seringkali dikeluhkan. Megawati saat menjadi presiden pernah menyampaikan secara terbuka bahwa birokrasi seperti halnya keranjang sampah. Artinya bahwa birokrasi kita berisikan orang-orang malas, tidak profesional, korup, dan arogan pada publik.

Soal birokrasi ini juga dikeluhkan oleh Gubernur Bali. Ia menyebut birokrasi yang membantunya masih lelet alias lamban di dalam menyikapi persoalan publik. Bahkan, Presiden Joko Widodo juga berkali-kali minta agar birokrasi melayani dengan cepat. Beliau berkeinginan memotong tingkatan birokrasi agar bisa bergerak lincah dan efisien. Presiden ingin menghilangkan eselon tiga dan empat.

Hemat kita, sebab utama kelambanan birokrasi itu sebetulnya adalah soal kompetensi birokrasi kita. Betapa banyak di antara birokrat kita yang ditengarai tidak lagi cocok dengan dinamika pengelolaan pemerintahan dewasa ini.

Sebut saja bahwa sebagian besar birokrat itu sudah berumur dan kebanyakan dari mereka adalah jebolan sekolah menengah yang dari aspek pengalaman mungkin mereka telah lama bekerja, tetapi dari sisi artikulasi terhadap kebutuhan dan kebijakan saat ini, mereka tidak dapat mengimbanginya dengan baik. Penguasaan mereka terhadap kemajuan teknologi juga lemah, sementara pemerintah ingin memanfaatkan teknologi di dalam melayani publik. Akhirnya mereka bekerja demi menggugurkan kewajiban semata, business as usual, kerja yang rutinitas, tidak berani berpikir dan bertindak out of the box.

Dalam kondisi seperti itu, tentu kita sulit mendapatkan hasil yang maksimal, apalagi optimal, dari birokrat semacam itu. Mereka mampu menghidupkan mesin birokrasi saja sudah lebih dari bagus. Artinya publik masih mendengarkan mesin birokrasi berbunyi. Soal bagaimana menggerakkan birokrasi dan ke mana akan diarahkan setelah mesin dibunyikan, nanti dulu.

Baca juga:  Pejabat Publik Pimpin KONI Masih Pro Kontra

Padahal, setelah mesin birokrasi hidup, kita ingin melihat birokrasi kita bergerak ke arah yang dituju. Di sinilah letak masalahnya, mereka yang diharapkan mampu menggerakkan birokrasi kita rupanya tidak punya lisensi, kalaupun punya lisensi, birokrasi kita hanya bergerak di tempat, karena pemegang lisensi tidak punya kompetensi untuk membawa birokrasi bergerak lincah dan melaju dalam kecepatan yang tinggi sesuai target yang dicanangkan oleh pemerintah. Tidak heran jika kita melihat masih banyak yang mengeluhkan kinerja birokrasi kita, termasuk Ibu Mega, Pak Koster, dan Bapak Presiden.

Dalam konteks ini, kita perlu menata birokrasi kita agar kompatibel dengan persoalan yang ada. Misalnya birokrat yang sudah berumur dan tingkat pendidikannya berada pada level menengah serta tidak punya produktivitas ditawari untuk pensiun dini atau direlokasi dari jabatan-jabatan yang membutuhkan speed dan kompetensi tinggi.

Dengan cara yang demikian, postur birokrasi kita akan ramping dan lincah bergerak. Birokrasi kita akan dikelola oleh tenaga-tenaga yang produktif dan terampil. Hanya, tenaga-tenaga yang produktif dan terampil ini harus ditambah kapasitas intelektual dan sosialnya agar tidak terjebak dalam rutinitas yang kemudian membuat mereka jenuh dan tidak produktif.

Baca juga:  Dikeluhkan, Dinsos Tarik Beras Kemensos

Di sisi lain, kelambanan birokrasi juga disebabkan oleh hilangnya mata rantai koordinasi. Kata koordinasi gampang diucapkan, tetapi sulit sekali dipraktikkan. Dalam kasus tertentu, hilangnya mata rantai koordinasi membuat birokrasi sulit mengambil sikap.

Sebagai contoh, ada seorang bupati meminta agar kepala dinas segera menanggapi keluhan warga, tetapi kepala dinas tersebut mengatakan sulit menindaklanjuti keluhan tersebut karena keluhan tersebut juga menyangkut dinas-dinas yang lain. Akhirnya keluhan tersebut tidak pernah ditindaklanjuti.

Padahal keluhan tersebut menyangkut kepentingan publik yang sangat luas. Artinya, perintah bupati tidak bisa dieksekusi karena kepala dinas tersebut terhambat oleh kewenangan dinas lain. Seharusnya, kepala dinas itu segera melakukan koordinasi dengan pihak lain guna menyelesaikan keluhan tersebut.

Hemat kita, koordinasi adalah suatu keharusan untuk menunjukkan keberpihakan birokrasi kepada kepentingan publik, di samping memperlihatkan birokrasi memiliki manajemen yang baik di dalam mengatasi problem bersama. Seringkali dikatakan bahwa hilangnya mata rantai koordinasi ini disebabkan oleh kuatnya ego sektoral di dalam birokrasi.

Masing-masing mau urus diri sendiri, tidak rela dicampuri oleh pihak lain. Padahal semua elemen dalam birokrasi tidak bisa dipisahkan satu sama lain, mereka saling memengaruhi. Dalam konteks ini kita membutuhkan sebuah kepemimpinan yang efektif guna menjamin koordinasi berjalan dengan baik. Sebab, seorang pemimpin yakni kepala pemerintahan berperan sebagai koordinator. Ketiadaan kepemimpinan yang efektif akan membuat birokrasi kita menjadi lamban.

Baca juga:  Penerima BLT di Gianyar Dikeluhkan Tak Tepat Sasaran

Dampaknya adalah semua visi dan misi kepala pemerintahan tidak akan bisa diwujudkan dalam rentang waktu yang dibutuhkan, misalnya dalam lima tahun masa jabatannya. Publik tentu akan kehilangan harapan dan kepercayaan. Jika publik telah kehilangan harapan dan kepercayaan, maka seorang kepala pemerintahan akan sulit mendapatkan tiket untuk periode berikutnya.

Masalah lainnya adalah soal tumpang tindih aturan yang menyebabkan adanya keraguan birokrasi mengambil langkah cepat guna mengeksekusi sebuah persoalan publik. Sebagai contoh, ada kewenangan pada sebuah institusi, tetapi kewenangan itu dibatasi oleh aturan yang dimiliki oleh institusi lain.

Akibatnya ada keraguan dan bahkan ketakutan dari institusi tertentu untuk mengambil langkah praktis. Solusinya adalah koordinasi antarinstitusi, tetapi seperti yang telah disinggung di atas, koordinasi adalah kata yang indah, namun sulit dilaksanakan.

Akhirnya, kita berharap para pemimpin daerah memiliki kesanggupan untuk menggerakkan birokrasi guna mencapai tujuan yang dikandung dalam visi dan misi mereka. Caranya adalah jauhkan birokrasi dari pembelahan politik, terapkan reward and punishment tanpa pertimbangan politik, dan tempatkan mereka yang profesional dan terampil pada posisi yang tepat.

Di samping itu, bangunkan sistem koordinasi yang kuat dan buatkan aturan yang saling menopang dan tidak tumpang tindih. Jika ini dilakukan, birokrasi kita akan bergerak cepat, aman, dan berhasil mengantarkan kita ke tujuan yang diinginkan.

Penulis, Kepala Ombudsman RI Perwakilan Provinsi Bali

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *