menulis
Siswa SD sedang belajar di kelas. (BP/dok)

Ide zonasi bagi murid baru mesti diakui memang baik, sepanjang ada kesamaan kualitas sekolah. Jadi, ketika hal itu sudah dirasakan merata secara objektif, maka zonasi itu memang tidak ada masalah.

Sekarang, hiruk-pikuk soal itu sudah selesai. Atau, anggaplah sudah selesai walaupun masih banyak menyisakan masalah, kedongkolan, keputusasaan dan sebagainya. Jadi, apakah ini sudah selesai? Tentu saja tidak.

Jadi, apanya yang sudah selesai? Yah, paling tidak hiruk-pikuknya, kehebohannya. Inilah sebagai cerminan kita melakukan hal senantiasa secara parsial, tidak tuntas apalagi holisitik.

Memang mesti diakui pula, sektor pendidikan senantiasa menimbulkan ”kejutan”, surprise, Lalau sekarang apa masalahnya? Ya, benahi hal ini sehingga tidak menimbulkan kehebohan lagi. Atau paling tidak, sistem ini dipertahankan dengan perbaikan di sana sini. Tahun depan, jangan lagi buat ”keanehan” baru.

Baca juga:  Pemerataan Fasilitas Sebelum Zonasi

Sehingga tidak banyak menimbulkan kegaduhan serta kelimpungan banyak orang. Mari kita kembali lagi ke persoalan zonasi. Kalau sekarang muridnya yang kena jurus zonasi, maka bagaimana dengan gurunya?

Bagi guru, yang semestinya patut digugu dan ditiru, sebagai pahlawan tanpa tanda jasa dan seabrek julukan lainnya. Menjadi guru itu profesi mulia. Kita tidak usah terlalu membandingkan bagaimana model guru dulu yang digambarkan sebagai Umar Bakri, lusuh dan sepertinya tidak lepas dari masalah.

Tetapi kini, nasib guru jauh lebih baik. Secara profesi, pemerintah sudah banyak membuka peluang. Kesempatan meningkatkan potensi diri lewat sertifikasi maupun jalur kompetensi lainnnya. Juga dari sisi ekonomi, memang jauh lebih baik. Meskipun tidak semuanya berjalan mulus.

Menjadi guru itu sebagai suatu kebanggaan. Setidaknya nasib anak bangsa dipertaruhkan. Dalam konteks zonasi, apakah perlu guru juga dizonasi? Tentu tidak. Justru sebaliknya. Guru itu mesti diputar, di-rolling.

Baca juga:  Harus Disosialisasikan Lebih Awal

Tidak bisa kemudian guru itu dari dia mulai mengajar sampai pensiun hanya di satu sekolah. Dia mesti keliling dari satu sekolah ke sekolah lainnya. Dari satu desa ke sekolah di kota. Demikian juga sebaliknya. Kalau urusan berapa lama dan urusan anggaran, tentu pemerintah yang akan memperhitungkannya.

Tugas pemerintah serta wakil rakyat memang begitu. Dengan keliling, semua sekolah ada kesempatan mendapatkan guru berkualitas. Semua anak akan merasakan tangan dingin mereka. Semua guru juga yang pas-pasan akan pergi ke sekolah yang dianggap bagus, barangkali akan panas dingin karena dia merasa dirinya tidak mampu.

Tidak masalah. Itu biasa. Justru itu nanti diharapkan dia bisa memacu diri agar kompetensinya bertambah. Ada semacam sharing pengetahuan serta cara, gaya serta strategi serta taktik mendidik. Sekali lagi, mendidik plus mengajar. Dua duanya mesti sejalan.

Baca juga:  Rampung, Bangunan Blok I Pasar Anyar Sari Di-''pelaspas'' 15 Januari

Dengan demikian, semua akan mempunyai pengalaman baru. Tidak hanya gurunya, tetapi juga muridnya. Akan terjadi kehebohan. Guru-guru sebagian mungkin juga akan protes.

Mereka mungkin terlalu biasa berada di zona nyaman kemudian dipindahkan ke sekolah yang asing, tentu ada masalah, tentu ada resistensi. Tinggal bagaimana pemerintah meraciknya dengan bagus sehingga semuanya bisa berjalan lebih baik.

Ini juga masalah pemerataan. Tidak hanya bagi para murid untuk menempatkan pendidikan yang baik, tetapi juga pemerataan bagi para guru untuk mendapatkan kesempatan berbuat secara lebih baik.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *