Tim SAR gabungan mengangkat kantong mayat untuk dibawa ke unit DVI RSUD Kotamobagu, di pertambangan emas tanpa izin (PETI) desa Bakan, Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, Selasa (5/3). (BP/ant)

Oleh GPB Suka Arjawa

Di Desa Bakan, Kecamatan Lolayan, Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, sampai sekarang diperkirakan masih ada 50 sampai 100 orang terkubur di sebuah tambang emas ilegal. Petambang yang berhasil dikeluarkan adalah 28 orang dengan 18 di antaranya selamat, 8 meninggal, dan 2 orang kemudian meninggal di rumah sakit.

Salah seorang korban selamat mengatakan bahwa di dalam gua tambang tersebut, mirip dengan pasar ikan. Artinya, para petambang ramai menggali lubang untuk mendapatkan bijih emas yang kemudian mereka olah.

Konon, penghasilan mereka per hari minimal dapat mencapai Rp 500 ribu. Tambang itu kemudian ramai mengundang pendatang dari luar wilayah tersebut. Longsoran tambang terjadi karena tanah terlalu dalam digali, dengan kondisi tanah tebing yang rapuh berbebatuan sehingga mudah runtuh. Tetapi, para petambang tidak memedulikan kondisi rapuh tersebut demi mendapatkan tujuannya mencari emas.

Fenomena yang terjadi di Desa Bakan, Bolaang Mongondow ini boleh dikatakan merupakan model  dari kondisi sebagian masyarakat Indonesia. Kasus ini dapat juga dikatakan tidak hanya mewakili sikap masyarakat desa terhadap alam tetapi juga perkotaan.

Pada peristiwa yang disebutkan di atas, sudah jelas bahwa tanah dan alam yang menjadi tempat membangun “terowongan” untuk menggali tanah emas, mempunyai sifat yang labil, rapuh, dan mudah longsor. Kondisi ini sesungguhnya sudah diketahui oleh petambang karena ada dari mereka yang pernah bergelut di lokasi tersebut, mengundurkan diri sebagai penggali tambang dan kembali ke desa untuk bekerja sebagai petani.

Tetapi bagi sebagian besar lagi tidak peduli dengan kondisi tanah yang labil tersebut. Di sinilah posisi persoalannya, yaitu kesadaran yang tidak ada dan mengabaikan keselamatan dibanding dengan harapan yang didapatkan.

Baca juga:  Pelaku Kekerasan Usia Sekolah

Pada titik seperti inilah sesungguhnya tugas dari pemerintah dan politisi. Tentu masyarakat juga mempunyai tugas. Intinya, semua harus mempunyai kesadaran. Pihak pemerintah dan politisi dan masyarakat mempunyai kesadaran untuk mengingatkan mereka tentang bahaya yang terjadi.

Para petambang juga harus mempunyai kesadaran  terhadap bahaya yang akan terjadi. Sebagai regulator yang “menguasai” segenap sikap dan perilaku masyarakat untuk menjamin ketertiban, keselamatan dan kesejahteraan warga, maka pemerintah setempat (dalam hal ini pemerintah daerah, bahkan yang paling lokal sekalian), secara sosiologis politis, dapat menggerakkan kekuatannya yang paling maksimal terhadap sikap para petambang yang boleh dikatakan mbalelo tersebut.

Bagaiamanapun, tambang tersebut adalah ilegal dan sudah diketahui tanahnya demikian labil. Maka, pada kondisi tertentu, pemerintah mempunyai tugas  untuk menutup tambang tersebut dan menghukum para petambang yang membandel. Sudah jelas, sebagai sebuah kebijakan sebelumnya dilakukan tindakan preventif seperti memberikan peringatan melalui kunjungan lapangan, memberikan peringatan berupa papan peringatan, dan memberikan peringatan  dengan batas waktu.

Jika ketiga ini telah dilakukan, maka tidak salah kemudian diambil tindakan berupa penutupan dan penghukuman.  Prosedur ini seharusnya sudah merupakan tindakan baku yang harus dilakukan pemerintah di mana pun dan pada struktur tingkat apa pun.

Yang mungkin jarang dilakukan adalah keberanian pemerintah pada struktur tingkat paling bawah untuk melakukan tindakan darurat, sebelum sempat melapor pada jenjang yang lebih tinggi. Artinya, bagaimanapun berbelitnya birokrasi untuk menutup sebuah pertambangan misalnya, pemerintah yang paling bawah seharusnya diberi kewenangan untuk melakukan langkah darurat  untuk membuat keputusan menutup sebuah kegiatan yang membahayakan jiwa dan lingkungan.

Baca juga:  BPBD Karangasem Distribusikan Air Bersih ke Dusun Poh

Walaupun pemerintah lokal (misalnya desa) tidak pernah melakukan kajian ilmiah terhadap kondisi membahayakan tersebut, tetapi jika berdasarkan sejarah dan nilai kearifan lokal, hal itu membahayakan, maka pemerintah lokal itu dibolehkan menutup saja kegiatan tersebut. Dalam kasus di Desa Bakan, tambang itu adalah ilegal sehingga penutupan lebih mudah dilakukan.

Barangkali di sinilah kelemahan sistem pemerintahan di Indonesia, apabila semuanya secara birokratis harus menunggu perintah dari atas. Bahkan, kondisi seperti ini dipakai oleh oknum-oknum aparat tertentu untuk menarik “cuk” terhadap proyek tertentu meski proyek tersebut membahayakan.

Lebih spesifik lagi adalah tugas politisi. Selama ini yang lebih dipahami adakah tugas politisi sebagai tugas politik, artinya negosiasi, pencapaian tujuan, pemeliharaan dukungan, dan pengkaderan. Inilah kekeliruan para politisi zaman sekarang. Padahal di dalam tugas politik tersebut juga ada tugas sosial. Tugas sosial inilah yang menjadi tanggung jawab utama mereka sebagai politisi.

Karena itu menjaga keselamatan masyarakat, memberi informasi, menyejahterakan,  termasuk juga mendidik masyarakat merupakan tugas politisi. Dalam kacamata tugas ini, politisi jauh lebih lincah dari pemerintah karena ia dapat bergerak secara individual ke desa-desa ke pelosok  yang merupakan tanggung jawabnya.

Pemerintah harus bergerak melalui sistem birokrasi yang di dalamnya menyangkut biaya, izin, pentahapan, prioritas dan sebagainya. Politisi dapat memangkas birokrasi rumit seperti itu, sehingga mereka dapat bergerak lebih lincah.

Dengan demikian, apabila ada kejadian-kejadian fatal membahayakan seperti kasus di Desa Bakan tersebut, politisi juga dapat dimintai pertanggungjawaban. Maka, peristiwa mengenaskan sampai menimbun puluhan orang tersebut menjadi pelajaran bagi politisi untuk perjalanan karier politiknya ke depan.  Politisi jangan hanya pintar membuat spanduk dengan tema-tema yang tidak jelas dan lucu.

Baca juga:  Siwaratri, Bukan Ritual Pegadaian

Di samping pemerintah dan politisi, sudah jelas masyarakat setempat juga mempunyai tugas. Mereka mempunyai tugas mengontrol dan mengingatkan. Terhadap berbagai potensi yang ada di daerahnya, secara logika, yang paling mengetahui adalah masyarakat setempat. Peristiwa-peristiwa sejarah yang menyangkut peristiwa maupun lokasi, dapat dipakai sebagai modal dasar untuk mengingatkan, termasuk juga melarang sebuah proyek yang membahayakan. Nilai-nilai kearifan lokal juga dapat dipakai sebagai potensi.

Kasus runtuhnya tambang di Desa Bakan, Bolaang Mongondow tersebut  dapatlah dikatakan sebagai sikap rakyat sulit diberi tahu. Ini juga terjadi di beberapa tempat di Indonesia seperti di Aceh, daerah tsunami kembali dihuni, juga di beberapa  daerah pesisir selatan Jawa, pesisir selatan Nusa Tenggara yang pernah terkena tsunami pada masa lalu.

Bagaimana dengan di Bali? Petambang pasir yang ada di pinggir atau lereng Gunung Agung kembali aktif, kembali diangkut oleh ratusan truk, yang sebagian membikin macet dan hancur jalanan. Padahal, pasir merupakan tanah yang labil yang berpotensi longsor. Dan juga Gunung Agung masih aktif sampai sekarang yang sewaktu-waktu dapat meletus. Jika yang terakhir ini terjadi, pasti nasib yang akan berbicara. Padahal sebelum berbicara nasib, usaha keselamatan harus dilakukan maksimal.

Penulis adalah staf pengajar Sosiologi, FISIP Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *