abrasi
Kondisi pantai Gilimanuk di lingkungan Jineng Agung yang porak poranda akibat abrasi. (BP/olo)

Agustus tahun 2006 silam, Bali Post dan Bali TV berkesempatan “memotret” wilayah Bali utamanya daerah pesisirnya dari udara. Hasil pemotretan tersebut kemudian diturunkan pada terbitan 16 Agustus 2006 dengan judul “Bali Bopeng” sebagai “kado” ulang tahun Bali Post.

Bopeng, karena terlihat di sana-sini pesisir Bali sudah tergerus abrasi cukup parah. Akibat abrasi di berbagai tempat itu, Pulau Bali pun boleh dibilang mengecil. Fakta ini diperkuat pernyataan beberapa petani di Pantai Masceti dan Pantai Lebih, Gianyar. Mereka menunjuk gulungan ombak di tengah laut, dulunya merupakan batas sawah mereka. Kini, lahan pertanian mereka telah menjadi laut dan yang tinggal hanya sertifikatnya.

Gambaran ini menunjukkan, sempadan pantai di Bali sudah banyak yang hilang. Sementara yang tersisa sudah diklaim para pemilik usaha wisata seperti hotel, restoran dan sejenisnya. Keluhan masyarakat kesulitan untuk akses ke pantai/laut saat melasti pun, banyak bermunculan.

Baca juga:  Membangun Kesadaran Membayar Pajak

Miris, karena pantai landai untuk menggelar upacara bahkan sedikit yang tersisa. Meski demikian, masih saja ada investor yang mengincar pesisir bahkan perairan/laut Bali untuk kepentingan pariwisata. Salah satunya, kembali menghangatnya rencana reklamasi Teluk Benoa dengan keluarnya izin lokasi reklamasi Teluk Benoa dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) kepada PT Tirta Wahana Bali Internasional (TWBI).

Wacana kian panas dengan adanya pernyataan Kepala Dinas Tenaga Kerja dan ESDM Provinsi Bali Ni Luh Made Wiratmi. Dia mengakui dalam dokumen RZWP3K ada rencana pertambangan pasir laut 400 hektar dari Canggu (Badung) sampai Kediri (Tabanan) dengan jarak 4 mil dari bibir pantai.

Baca juga:  Semua Tergantung Masyarakat

Meski dikatakan baru rencana, tentu ini sangat ironis dengan ‘’potret’’ pesisir Bali saat ini yang sudah bopeng di mana-mana. Seharusnya tidak pernah ada rencana pengerukan pasir laut jika sudah tahu abrasi melanda pesisir Bali. Tentu perencanaan ini sangat kontroversial dengan penangkapan yang dilakukan aparat pada masyarakat yang ketahuan melakukan pencurian pasir laut.

Bukankah rencana pengerukan pasir laut yang akan diajukan menjadi perda sama artinya melegalkan pencurian dengan perda? Perlu dipertanyakan keberpihakan birokrat yang membuat perencanaan tersebut pada kepedulian dan penyelamatan alam Bali.

Tugas berat memang untuk menjaga dan menyelamatkan pesisir Pulau Bali ini. Pemilik usaha wisata haruslah menjaga dan menyelamatkan pesisir yang ada di lingkungan mereka. Mereka harus menaati aturan jarak bangunan sesuai ketentuan batas sempadan pantai.

Baca juga:  Makin Parah! Abrasi di Pebuahan Nyaris Putuskan Jalan

Juga, memberi alokasi ruang dan akses publik terutama bagi umat Hindu dalam penyelenggaraan upacara seperti melasti dan lainnya. Jauh di hulu, semua harus mencegah pemicu abrasi itu sendiri. Salah satunya yang kini kembali menghangat, reklamasi Teluk Benoa.

Meski tanpa ada reklamasi pun, ancaman abrasi tetap ada. Karena abrasi juga sebagai dampak perubahan iklim global. Salah satunya akibat efek rumah kaca. Sia-sialah upaya membendung reklamasi, memasang krib dan pemecah ombak maupun menjaga jarak bangunan sesuai aturan batas sempadan pantai, jika semua es yang ada di kutub selatan dan utara mencair akibat pemanasan global. Pemanasan global akan membuat permukaan air laut naik, menyebabkan banjir rob, abrasi, hilang/tenggelamnya pulau-pulau kecil, bahkan tsunami.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *