Ilustrasi. (BP/dok)

Oleh Ribut Lupiyanto

Tanggal 1 Oktober merupakan peringatan Hari Kesaktian Pancasila. Peringatan ini untuk membuktikan Pancasila tidak goyah dari segala ancaman. Implementasinya merupakan tanggung jawab kita semua. Nilai-nilai Pancasila menyentuh seluruh lini kehidupan berbangsa. Saktinya Pancasila idealnya memancarkan praktik berbangsa yang bersih, damai, dan berkualitas. Salah satunya adalah terbebas dari korupsi.

Sayangnya tantangan di lapangan semakin kompleks. Korupsi hadir semakin variatif dan merajalela. Terakhir bahkan mantan terpidana kasus korupsi dinyatakan bisa menjadi caleg. Mahkamah Agung (MA) memutus uji materi pasal 4 ayat (3), Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPR dan DPRD Kabupaten/Kota terhadap Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu (UU Pemilu).

Lolosnya mantan koruptor menjadi caleg merupakan hambatan baru menuju Indonesia bersih. Untuk itu, pendidikan politik menjadi esensi penting dalam kontestasi demokrasi yang berkualitas. Caleg merupakan ujung tombak pemenangan partai politik (parpol) dalam setiap pemilu.

Ribuan caleg yang akan bertarung tentu memiliki variasi latar belakang dan motivasi. Hal ini bisa diamati dari kondisi dan motivasi seseorang menjadi caleg. Tidak mudah mengidentifikasinya, perlu pencermatan yang intensif dengan melihat sepak terjang dan tingkah polah sejak sebelum menjadi caleg. Atas dasar penilaian ini terdapat beberapa klasifikasi caleg yang diprediksi menjadi fenomena di Pemilu 2019.

Baca juga:  Gubernur Koster di Rakernas II PDIP

Pertama, caleg ideologis. Caleg ini umumnya merupakan kader parpol yang dididik secara ideologis sejak lama. Atau bisa baru bergabung lantaran ketertarikan ideologi parpol. Kedua, caleg pencari kerja. Caleg ini tergiur menjadi legislator sebagai profesi berbayar tinggi. Ketiga, caleg pencari status. Caleg ini tidak memandang gaji yang sangat mungkin lebih rendah dari sekarang. Faktor yang paling dominan adalah dorongan status sosial.

Keempat, caleg kutu loncat. Caleg ini mudah berganti baju parpol, baik karena alasan ideologis maupun pragmatis. Kelima, caleg iseng. Pemilu yang membutuhkan ribuan caleg menjadikan parpol tertekan merekrut caleg. Caleg ini hanya main-main, tetapi ada juga yang berharap menang. Keenam, caleg yang terpaksa. Keterpaksaan menjadi caleg dapat disebabkan sebagai kader loyal yang tidak bisa menghindar dari instruksi parpol.

Fakta di lapangan tidak mudah menilai klasifikasi dan usaha setiap caleg. Kondisi yang terjadi sebagian besar adalah campuran dan kompleks. Pemilu 2019 ini dinamika tidak sekadar berhenti pada sang caleg, namun hingga relawan atau tim sukses.

Pendidikan Publik

Pemetaan klasifikasi dan dinamika caleg di atas menjadi modal awal yang penting untuk memilih caleg. Masyarakat mesti terus diberi informasi dan dididik demi menyaring caleg-caleg yang berkualitas dan berintegritas. Lima detik di bilik sangat menentukan nasib bangsa lima tahun ke depan.

Baca juga:  Komitmen Peduli Terhadap Pendidikan, Bunda PAUD Klungkung Raih Penghargaan Tingkat Nasional

Berlakunya sistem suara terbanyak merupakan kemajuan sekaligus kekhawatiran. Kemajuan jika dijalankan dengan penuh integritas, karena cukup adil dalam prinsip demokrasi. Sebaliknya menjadi kekhawatiran karena berpotensi menghadirkan kompetisi tidak sehat. Parpol dapat menuntut suara sebanyak-banyaknya dari caleg tanpa pengawasan. Caleg bisa saja bebas beraksi dan memang tidak terawasi. Inilah celah awal hadirnya praktik politik uang.

Beberapa cara cerdas dapat dipertimbangkan dalam memilih caleg pada Pemilu 2019 mendatang. Pertama, melihat visi misi parpol. Bagaimanapun parpol adalah tuannya caleg. Caleg tidak akan berkutik jika berhadapan dengan kebijakan parpol.

Masyarakat tidak semestinya hanya terfokus apalagi terkecoh oleh figur caleg. Masyarakat secara cermat dapat melihat kualitas dan rekam jejak parpol. Parpol yang hadir setiap saat lebih layak daripada parpol yang datang jelang pemilu saja. Parpol yang paling sedikit tersandung korupsi juga lebih laik pilih.

Kedua, mencermati rekam jejak parpol. Pencermatan lain dapat dilakukan melalui berita media massa maupun isu-isu yang berkembang di masyarakat lingkungannya. Caleg yang terlibat kekerasan rumah tangga, kurang harmonis rumah tangganya, memiliki perangai negatif, diindikasikan korupsi atau tindak pidana lain, serta pelanggaran norma lain tidak layak dipilih. Ketiga, memahami program kerja caleg.

Baca juga:  Ketua KPU Bali Kesal, Ini Gara-garanya

Caleg yang berkualitas akan menawarkan program bukan uang. Keberpihakan program yang dicanangkan bagi rakyat kecil menjadi salah satu parameter penilaiannya. Masyarakat bisa mengikat komitmen caleg melalui kontrak politik atau pakta integritas.

Pencerdasan masyarakat dalam memilih menjadi tanggung jawab penyelenggara pemilu serta elemen lain. Masyarakat mesti terus disadarkan dan dididik agar tidak memilih kucing dalam karung. Tokoh masyarakat, pemerintah, dunia akademik, dan elemen lain mesti ikut andil memberikan pendidikan politik masyarakat.

Media juga dapat menjadi penyalur informasi terkait sepak terjang caleg sekaligus sarana propaganda bagi pendidikan politik publik. Bawaslu mesti adil dan tegas dalam pengawasan kampanye caleg. Rakyat mesti semakin cerdas dalam menilai caleg mana yang layak dipilih. Kita tunggu tawaran dan perilaku caleg selama kampanye ini. Sebagai pemegang kedaulatan, rakyat bebas memilih caleg yang paling berkualitas dan berintegritas.

Penulis, Deputi Direktur  C-PubliCA (Center for Public Capacity Acceleration)

 

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *