penangguhan
Anggota DPR RI Nyoman Damantra usai mengajukan permohonan penangguhan penahanan Bendesa Adat Tanjung Benoa di Kejati Bali, Selasa (17/10) kemarin. (foto/eka)
DENPASAR, BALIPOST.com – Meski sempat gagal saat pengajuan penangguhan penahanan Bandesa Adat Tanjung Benoa, I Made Wijaya alias Yonda dan lima prajuru lainnya di Polda Bali, kini setelah dilimpahkan ke Kejati Bali, masyarakat Tanjung Benoa terus berupaya mengajukan penangguhan penahanan.

Anggota Komisi VI DPR RI, Nyoman Dhamantra, kembali mengajukan penangguhan penahanan dan langsung mendatangi kantor Kejati Bali. Dewan dari PDIP itu meminta penangguhan penahanan Yonda, serta lima prajuru desa lainnya yakni I Made Mentra (koordinaotr Panureksa Adat) I Made Widnyana, I Made Suartha, I Made Marna dan I Ketut Sukada.

Menurut Dhamantra, penangguhan penahanan dikarenakan aspirasi warga Tanjung Benoa yang datang padanya atas perkara yang dituduhkan pada prajuru adatnya.

Baca juga:  Warga Perancak Protes Pensertifikatan Tanah Pelaba Pura Taman

Warga Tanjung Benoa menilai bahwa bandesanya tidak melakukan pelanggaran reklamasi atau kesalahan atas pemungutan sebagaimana kasus yang berkembang belakangan. “Warga Tanjung Benoa dalam aspirasinya menilai bahwa apa yang dilakukan oleh bandesanya sesuai dengan paruman adat. Bandesa dan lima orang prajuru adat hanya sebagai pelaksana atas keputusan paruman adat tersebut,” ucap Dhamantra.

Dhamantara yang dikenal getol dan semangat memperjuangkan aspirasi masyarakat ini menjelaskan, dalam surat yang diserahkan kepada Kejati Bali tidak berbeda dengan apa yang diserahkan ke Polda Bali.

Intinya, isi surat yang ditembuskan kepada Ketua DPR RI, Presiden dan Kapolri adalah adalah penangguhan penahanan dengan berbagai argumen yang sudah disampaikan sebagaimana fakta yang ada di lapangan.

Baca juga:  Ngaku Untuk Cicilan Motor, Pelaku Perampasan Berhasil Dibekuk

Dhamantra berharap Kajati Bali Dr. Jaya Kesuma merespon permintaan wakil rakyat itu karena apa yang dilakukan tersangka adalah merupakan hasil paruman adat yang merupakan keputusan tertinggi dalam tatanan adat di Bali. Sebaliknya, jika kejaksaan tidak merespon sama sekali apa yang dimohonkan, itu sama dengan mengadili lembaga adat. Itu akan menjadi preseden buruk bagi kejaksaan.

Alasannya, mengadili lembaga adat yang dilakukan terhadap Yonda, dimana Yonda melakukan tindakannya berdasarkan paruman adat. “Bukan atas dasar kemauan sendiri. Sekali lagi itu berdasarkan paruman adat,” jelas Dhamantra, sembari menambahkan bahwa prajuru dan bandesa hanya sebagai pelaksana atas putusan paruman adat. Artinya, tidaklah tepat ketika bendesa dan prajuru yang hanya sebagai pelaksana kemudian dituduh melakukan pelanggaran.

Baca juga:  Bongkar Sindikat Internasional, Bea Cukai dan BNN Sita 50 Kg Sabu

“Prajuru bersikap dan melakukan tugasnya atas dasar awig-awig atau perarem (peraturan desa adat Bali). Jadi tidak bisa kemudian dipersangkakan. Belum bisa dibuktikan bahwa uang desa itu untuk kepentingan pribadi Yonda selaku bandesa adat atau untuk prajuru atau pengurusnya,” tegasnya.

Terkait dengan tuduhan reklamasi yang dilakukan oleh bandesa adat. Pada dasarnya, yang dilakukan pemotongan pohon mangrove adalah untuk kelestarian Pura Gading dari abrasi. Kata dia, itu terlebih hanya kesalahan administratif, atau kelengkapan perijinan. Bukan menjadi kesalahan pidana seperti yang diproses saat ini. (Miasa/Balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *