JAKARTA, BALIPOST.com – Kementerian Koperasi dan UKM bersama Kementerian Dalam Negeri dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) melakukan koordinasi strategis guna pembentukan Perusahaan Penjaminan Kredit Daerah (PPKD) atau Jamkrida di 16 provinsi yang belum memiliki Jamkrida.

“Kami akan melakukan penguatan akses kelembagaan secara sistemik, termasuk membangkitkan komitmen para kepala daerah khususnya Gubernur, untuk segera mendirikan Jamkrida”, kata Deputi Bidang Pembiayaan Kementerian Koperasi dan UKM Yuana Sutyowati pada acara Rapat Koordinasi Percepatan Pembentukan PT Jamkrida di Jakarta, Selasa (19/9).

Ke-16 provinsi yang belum memiliki Jamkrida adalah Aceh, Sumut, Kepri, Lampung, Bengkulu, Jambi, DI Yogyakarta, Kaltara, Sulut, Sulbar, Sultra, Sulteng, Gorontalo, Maluku, dan Maluku Utara. “Padahal, pembentukan Jamkrida merupakan social engineering yang nyata bagi UMKM agar memiliki akses ke lembaga perbankan terkait perkuatan permodalan”, papar Yuana.

Sampai saat ini, telah terbentuk 21 perusahaan Penjaminan Kredit. 18 diantaranya dimiliki Pemda seperti Jatim, Bali, Riau, NTB, Jabar, Sumbar, Kalsel, Sumsel, Kalteng, Babel, Banten, NTT, Kaltim, Papua, Jateng, DKI Jakarta, Kalbar, dan Sulsel.

Baca juga:  OJK Luncurkan Tiga Inovasi Industri Keuangan Digital

Secara nasional, total aset seluruh Jamkrida sebesar Rp16 triliun, dimana Rp 14 triliun merupakan aset Perum Jamkrindo. Selebihnya, sebesar Rp 2 triliun adalah aset 18 PT Jamkrida. Yang paling besar adalah PT Jamkrida DKI Jakarta sebesar Rp 316 miliar.

Hanya saja, kata Yuana, dengan jumlah aset itu, kinerja yang diukur dari jumlah kredit yang dijamin belumlah optimal. “Untuk itu, lembaga keuangan khususnya perbankan diharapkan memanfaatkan potensi yang dimiliki PT Jamkrida untuk meningkatkan akses pembiayaan UMKM. Dengan demikian, target pemerintah terkait kredit berjaminan pada 2019 sejumlah 25% dapat tercapai,” tukas Yuana.

Menurut Yuana, penjaminan kredit di daerah merupakan bagian tidak terpisahkan dari proses kredit yang berfungsi sebagai penambah keyakinan kreditur terhadap potensi risiko kredit. “Dampak yang ditimbulkan adanya penjaminan kredit adalah peningkatan jumlah kredit yang disalurkan kreditur terhadap debitur khususnya KUMKM, yang diukur dari besaran Gearing Ratio,” kata Yuana.

Baca juga:  Pariwisata Maju Pesat, NAM Air Tambah Frekuensi Penerbangan Jakarta-Banyuwangi

Dalam kesempatan yang sama, Kepala Biro Hukum Kemendagri Widodo Sigit Pudjianto menegaskan bahwa ditargetkan tahun ini semua provinsi sudah memiliki Jamkrida. “Karena ini merupakan amanah Presiden RI yang tertuang dalam Nawacita, dimana negara harus hadir dalam pemberdayaan UMKM di seluruh Indonesia,” tandas Widodo.

Dengan adanya Jamkrida, lanjut Widodo, memiliki manfaat besar bagi UMKM. Diantaranya, usaha mikro dan kecil untuk mendapatkan kredit tidak harus dengan jaminan atau agunan. Sehingga, mereka tidak lagi terjerat rentenir yang mencekik. “Dengan hadirnya Jamkrida, dengan pinjaman kredit usaha sebesar maksimal Rp 20 juta tidak lagi harus menyertakan agunan. Bayangkan saja, dengan modal pendirian Jamkrida sebesar Rp50 miliar, itu sama saja dengan alokasi kredit sebesar Rp 250 miliar, lalu dibagi rata-rata kredit Rp 5 juta saja, sudah berapa banyak UKM yang terbantu dan terjamin kreditnya”, jelas Widodo lagi.

Baca juga:  BPR yang Bermasalah Bukan BAS Batubulan

Sedangkan Plt Kepala Departemen Pengawas IKNB 2B OJK Bambang W Budiman mengungkapkan, modal minimum untuk mendirikan Jamkrida untuk lingkup wilayah usaha nasional sebesar Rp 100 miliar, provinsi Rp 25 miliar, dan kabupaten/kota Rp 10 miliar. “Prosedurnya, setelah terbentuknya Perda Pendirian Jamkrida dan Perda Penyertaan Modal, maka direksi Jamkrida dapat mengajukan permohonan ijin usaha ke OJK sesuai ketentuan yang berlaku. Setelah dokumen perijinan dinilai memenuhi, dan Direksi-Komisaris telah dinyatakan lulus penilaian kemampuan dan kepatutan, OJK akan menerbitkan izin usaha kepada Jamkrida,” papar Bambang.

Namun, diakui Bambang, masih ada beberapa kendala bagi daerah untuk mendirikan Jamkrida. Yaitu, kurangnya awareness stakeholder terkait di daerah (Pemda dan DPRD), optimalisasi APBD belum optimal untuk memenuhi modal disetor, dan keterbatasan SDM yang akan mengelola penjaminan. “Selain itu, kepala daerah belum memiliki kesepahaman mengenai ketentuan tahapan pembentukan Jamkrida”, pungkas Bambang. (Nikson/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *