JAKARTA, BALIPOST.com – Rapat paripurna DPR  yang berlangsung pada Kamis pagi (20/7)  hingga Jumat dini hari (21/7) mengesahkan Rancangan Undang-Undang Penyelenggaraan Pemilu menjadi undang-undang.

Keputusan diambil setelah empat fraksi urung melakukan pemungutan suara (voting) untuk mengambil keputusan dan memilih walk out alias keluar sidang dan menyatakan tidak bertanggungjawab atas pengesahan RUU teraebut.

Dari lima opsi lima paket yang ada, dua kubu fraksi yang berlawanan masing-masing menentukan salah  paket paket yang dipilih. Kubu fraksi-fraksi yang dikenal sebagai pendukung pemerintah memilih Paket A. Yaitu Fraksi PDI Perjuangan, Fraksi Partai Golkar, Fraksi Partai NasDem, Fraksi Partai Hanura dan Fraksi PKB yang baru belakangan ikut bergabung.

Adapun isi Paket A, terdiri atas ambang batas pencalonan presiden 20 persen perolehan kursi atau 25 persen perolehan suara sah nasional, ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi per daerah pemilihan 3-10, dan metode konvensi suara ke kursi Sainte Lague Murni.

Sedangkan kubu fraksi-fraksi yang di luar pemerintah dan tidak mendukung keinginan pemerintah memilih opsi Paket  B memilih walk out. Paket B terdiri atas ambang batas pencalonan presiden 0 persen, ambang batas parlemen 4 persen suara sah nasional, sistem pemilu terbuka, alokasi kursi per daerah pemilihan 3-10, dan metode konvensi suara ke kursi Kouta Hare.

Baca juga:  Status Pandemi Covid-19 Resmi Dicabut

Karena WO, voting akhirnya urung dilakukan. Keputusan mengesahkan RUU Penyelenggaraan Pemilu akhirnya diambil secara aklamasi. Saat pengesahan, rapat dipimpin oleh Ketua DPR Setya Novanto menggantikan Wakil Ketua DPR Fadli Zon yang sejak awal dipercaya memimpin rapat dan memilih mengikuti keinginan fraksinya melakukan aksi WO.

Sebanyak 322 anggota dari Fraksi PDIP, Golkar, PKB, PPP, NasDem dan Hanura. Paripurna memutuskan memilih opsi Paket A. Sedangkan sisanya 217 anggota Fraksi Gerindra, Demokrat, PAN dan PKS memilih walk out.

“Apakah Rancangan Undang-Undang Pemilu bisa disahkan menjadi undang-undang?” seru Ketua DPR Setya Novanto, yang memimpin sidang. Serempak para anggota DPR yang di rapat menyatakan,”Setujuu…”. Kemudian Novanto mengetuk palubtiga kali tanda disahkannya RUU tersebut.

Baca juga:  Jika Omicron Mengganas, Kasus Harian Bisa 3 Kali Lipat Puncak Gelombang Varian Delta

Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengungakpkan hasil lobi memutuskan  lima opsi paket yang afa dikerucutkan menjadidha yaitu Paket  A dan B. Wakil Ketua umum Partai Gerindraini  mengatakan keputusan walk out diambil karena presidential threshold sebesar 20 persen melanggar konstitusi.

“Yang namanya demokrasi ada perbedaan, ada perbedaan sikap. Tetapi kami tidak mau menjadi bagian dari pengambilan keputusan yang kami anggap  melanggar konstitusi. Yaitu tetap memakai presidential threshold yang sudah dipakai pada 2014,” kata Fadli.

Menurutnya, tidak ada di negara manapun yang angka PT nya mencapai 20 persen dari suara sah. “Bisa dicek. Tidak satu negara manapun. Pada umunya dibawah 10 persen dan itupun memakai pemilu yang tidak serentak. Sekarang memakai PT yang  dipakai di Pilpres 2014,” ujarnya.

Kendati menerima namun pihaknya kecewa dan akan menempuh berbagai langkah konstitusional diantaranya mengajukan uji materi atau judicial review ke Mahkamah Konstitusi (MK). “Kita akan melakukan langkah-langkah yang ada termasuk judicial review dan saya kira sudah banyak pihak melakukan hal sama,” katanya.

Baca juga:  Viral Video Penganiayaan Siswi di Ubud, Polisi Lakukan Lidik

Menteri Dalam Negeri (Mendagri) Tjahjo Kumolo mengaku senang RUU Penyelenggaraan Pemilu bisa disahkan sehingga pemerintah dan DPR tidak dinilai oleh sejumlah pihak sebagai penyebab lambannya kerja Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai penyelenggara pemilu karena tidak memiliki payung hukum.

“Pelaksanaan tahapan pemilu KPU harus mulai tahapannya bulan Agustus. Kita sudah sah memutuskan apa yang dibahas DPR dan pemerintah. Karena menyusun itu adalah haknya DPR bersama pemerintah,” kata politisi dari PDI Perjuangan ini.

Mengenai upaya judicial review oleh Partai Gerindra dan pihak-pihak lainnya yang merasa tidak puas dengan hasil RUU ini, Tjahjo mengatakan judicial review tidak mengganggu proses tahapan yang dilaksanakan kpu. “Peraturan KPU dan Bawaslu dasarnya UU yang sudah disahkan antara pemeintah dan DPR. Jadi PKPU (Peraturan KPK) dibuat berdasarkan UU yang sudah dibahas selama 9 bulan ini,” kata Tjhajo yang didampingi Menteri Hukum dan HAM Yasonna H. Laoly selaku wakil pemerintah. (Hardianto/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *