DENPASAR, BALIPOST.com – Gerakan Anti Radikalisme (GRAK) menggelar dialog Kebangsaan Hari Kebangkitan Nasional “Merawat Pancasila dan NKRI, Melawan Radikalisme” pada Sabtu (20/5). Setelah dialog, dilanjutkan dengan deklarasi Gerakan Anti Radikalisme di Catur Muka, Denpasar.

Acara itu dihadiri oleh berbagai organisasi yaitu GP Ansor, Pemuda Katolik, NU, KNPI, Bali Forum Komunikasi, Baladika, Laskar Bali, dll. GRAK adalah bentuk kepedulian dan keprihatinan atas lunturnya nilai Pancasila dan menghilangnya semangat NKRI.

Ketua Panitia Dialog, Rofiqi Hasan mengatakan, GRAK berawal dari inisiator-insiator yang gelisah akan lunturnya semangat NKRI. Ia menilai ada upaya yang membuat bangsa Indonesia berjalan mundur, padahal bangsa lain sudah jauh berjalan ke depan.

Pancasila yang diputuskan sebagai dasar negara telah selesai dibahas. “Tinggal mengisi dan mengaplikasikannya. Agar kemerdekaan bisa dinikmati seluruh rakyat Indonesia,” ujarnya.

Baca juga:  Enam Wilayah Catat Tambahan Kasus COVID-19, Ini Terbanyak

Kegiatan-kegiatan radikalisme yang menggerogoti Indonesia membuat rakyat Indonesia kurang fokus menghadapi masalah lain seperti kemiskinan, kesejahteraan, dan yang terpenting adalah penyakit korupsi. “Jangan lupa ada kasus korupsi e-ktp,” ungkapnya.

Ia berharap GRAK bergema ke hal-hal yang lebih konkret.

Dalam dialog itu hadir dua pembicara yaitu Gus Nuril dan Wahyu Budi Nugroho, Dosen Fisipol Universitas Udayana dan dimoderatori oleh Mardika. Wahyu dalam pemaparannya memberikan pemahaman tentang ajaran Islam yang radikalisme.

Menurut kelompok Islam radikal, garis keras, aneh jika seorang muslim menganut demokrasi. Karena nasionalisme tidak ditemui di dunia Islam. “Orang Islam belum radikal kalau belum anti demokrasi dan anti nasionalisme,” ungkapnya.

Baca juga:  Buntut Penutupan Bandara Banyuwangi, Tiga Sekolah Pilot Diliburkan

Ada tiga klasifikasi gerakan Islam yaitu Revivalisme, Reformisme, dan Radikalisme. Radikalisme, gerakan Islam yang terkeras diantara keduanya. Gerakan ini lahir dari reaksi atas beragam persoalan kehidupan modern. “Radikalisme lebih berupaya untuk menciptakan dunia baru,” ujarnya.

Dunia baru yang dimaksud adalah negara Islam atau Khilafah Islamiyah. Negara Islam adalah negara mayoritas Islam dengan menggunakan hukum Al Quran dan As Sunnah. “Kalau Khilafah Islamiyah berdiri, Indonesia, Malaysia, Brunai itu akan menjadi salah satu provinsinya saja. Karena yang namanya negara Islam atau Khilafah Islamiyah itu harus menyatukan umat Islam di seluruh dunia, entah pusatnya di Yordania, Mesir atau yang lain, tapi yang jelas Indonesia ini hanya menjadi salah satu provinsinya saja,” jelasnya.

Baca juga:  Sayu Bella Kembali ke Pelatnas, Proyeksi SEA Games

Gus Nuril mengatakan, baginya Islam adalah musyawarah dan demokrasi. Baginya tidak ada istilah Islam radikal karena jika radikal bukan Islam. Islam adalah ajaran yang saling mengasihi. “Jangankan dengan manusia, dengan binatang saja saling mengasihi,” ujarnya.

Dalam Islam juga ada konsep Moksa, bertemu dengan Tuhan bukan mencari surga. Islam juga mengajarkan kesucian hati. Suci berarti tidak ada rasa iri, dengki, benci, yang ada hanya cinta. “Maka banyak orang yang terjebak di agama-agama, kehilanga cinta karena terjebak pada dogma dan tafsir-tafsir. Sehingga bisa dikatakan sebagai Islam Radikal, Islam garis keras, bagi saya itu bukan Islam,” ujarnya. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *