Ilustrasi. (BP/Dokumen Swara Tunaiku)

DENPASAR, BALIPOST.com – Sektor properti yang belum pulih berimbas pada sektor perbankan. Salah satunya  pertumbuhan kredit.

Sebab, sektor properti ini, menurut akademisi Fakultas Ekonomi dan Bisnis (FEB) Universitas Udayana, Prof. Wayan Ramantha memiliki dua komponen, yaitu investasi sekaligus konsumsi. Ia menyebutkan KPR (Kredit Kepemilikan Rumah) merupakan kredit konsumsi untuk memenuhi kebutuhan masyarakat akan perumahan. Penduduk bisa terus bertambah, pertumbuhan perumahan juga terus mengalami peningkatan.

Baca juga:  20 KK Miskin Banjar Biaung Terima Bantuan Sembako "Bakti Pertiwi Bali"

Di sisi lain KPR juga merupakan investasi bagi pengembang dan masyarakat. Bagi masyarakat misalnya membeli rumah untuk disewakan kembali, membeli ruko dipergunakan untuk mencari pendapatan tambahan.

Dengan  demikian, KPR berada di dua sektor yaitu konsumsi dan investasi, sehingga sangat menentukan perekonomian suatu negara. Bahkan di negara maju, derivative (produk turunan) dari pembelian properti ini diperdagangkan dalam bentuk obligasi, sehingga banyak hal yang terpengaruh, baik sektor riil maupun sektor jasa.

Baca juga:  Kemenkop Cegah Koperasi Jadi Wadah Pencucian Uang

Selain properti, menurut Wayan Ramantha, pertumbuhan kredit yang melambat juga karena dampak kondisi makro ekonomi nasional yang menurun dan kondisi makro global. Ditambah dengan sektor properti yang turun.

Kondisi ini bertambah parah dengan berlanjutnya perang dagang antara AS dan China, yang menyebabkan pertumbuhan negara maju juga melambat. Sementara situasi nasional juga tegang dengan adanya perhelatan politik pada 2019 ini.

Ia menilai pengusaha masih akan melihat kondisi ekonomi (wait and see) sampai Juni 2019. Diprediksi pertumbuhan kredit akan mulai terjadi pada 2020. (Citta Maya/balipost)

Baca juga:  Korban Jiwa COVID-19 di Bali: Dua Zona Merah dan Dua Orange Catat Tambahan Kasus
BAGIKAN