Pemasangan seng sebagai aksi protes penutupan sementara 13 akomodasi wisata di DTW Jatiluwih. (BP/man)

 

TABANAN, BALIPOST.com – Pascapenutupan sementara 13 akomodasi wisata di kawasan Daya Tarik Wisata (DTW) Jatiluwih, pelaku pariwisata yang juga mantan Manajer DTW Jatiluwih, I Nengah Sutirtayasa, mendesak pemerintah menerbitkan moratorium pembangunan. Hal ini penting dilakukan untuk mencegah lumpuhnya aktivitas pariwisata dan hilangnya sumber nafkah ratusan warga yang merupakan warga lokal.

Sutirtayasa mengatakan, jika penutupan dilakukan total tanpa adanya kebijakan transisi, sedikitnya ada sekitar 300 pekerja lokal yang terdampak. Mereka yang mayoritas anak petani ini terancam kehilangan pekerjaan.

“Sebagian besar para pekerja ini anak petani lokal. Pagi mereka bekerja di akomodasi, sore pulang bantu orang tuanya di sawah. Kalau mereka terpaksa mencari kerja ke luar, regenerasi petani bisa hilang,” ujarnya saat dihubungi, Kamis (4/12).

Baca juga:  PAD Badung Berpotensi Lampaui Target

Menurutnya, kondisi saat ini tentu akan sangat mengkhawatirkan mengingat sebagian besar petani yang tersisa berusia di atas 50 tahun. Hilangnya dukungan generasi muda dikhawatirkan mempercepat penurunan produktivitas pertanian, sementara pariwisata sejatinya dikembangkan untuk memperkuat ekonomi petani.

Sebagai salah satu tokoh yang terlibat sejak pembentukan manajemen DTW Jatiluwih di tahun 2014, Sutirtayasa merasa arah penanganan saat ini seolah menyudutkan masyarakat lokal sebagai pihak yang merusak kawasan. Padahal, sejak awal konsep pariwisata Jatiluwih dirancang berdasarkan dresta dan aturan lokal, termasuk pembagian zona pengarep dan siluan yang tidak boleh dibangun.

“Investor lokal hanya boleh membangun sekitar 10 persen dari total lahan. Itu sudah kita jalankan dari awal agar pariwisata dan pertanian bisa berjalan beriringan,” jelasnya.

Baca juga:  Malam Tahun Baru, Klungkung Tutup Lapangan dan Monumen

Ia menilai, persoalan yang muncul bukan pada aktivitas pertanian, melainkan fasilitas penunjang pariwisata yang berkembang seiring kebutuhan pengunjung. Karena itu, menurutnya, pemerintah seharusnya menghadirkan solusi yang tidak mematikan potensi ekonomi warga.

“Fasilitas itu ada karena ada pariwisata. Harusnya masyarakat lokal tetap diberikan ruang menikmati manfaatnya,” katanya.

Sutirtayasa turut menyoroti pemberlakuan aturan tata ruang baru pada 2023, sementara sebagian bangunan berdiri jauh sebelumnya. Ia mengingatkan bahwa pada 2017 Bupati Tabanan sempat menerbitkan surat moratorium hingga penataan kawasan lebih jelas. “Sekarang seharusnya bisa dilakukan hal serupa. Bangunan yang sudah telanjur berdiri diberikan kebijakan, jangan serta merta ditutup,” tegasnya.

Baca juga:  BRI Selenggarakan "BRI Travel Fair 2022"

Ia mengungkapkan, seluruh pihak terdampak telah mengajukan rekomendasi ke Kementerian ATR dan hasilnya telah disampaikan ke pemerintah daerah. “Pertanyaannya, kenapa tidak dijalankan?” ujarnya.

Terkait wacana konsistensi perlindungan sawah sebagai Warisan Budaya Dunia (WBD), Sutirtayasa menyatakan pemerintah perlu tegas menentukan arah kebijakan. “Kalau memang tidak boleh ada pariwisata, ya cabut semuanya sekalian. Jangan hanya 13. Saya cek, pelanggar bukan hanya itu, puluhan lainnya juga,” katanya.

Karena itu, ia meminta pemerintah mendata ulang seluruh bangunan di kawasan Jatiluwih. “Jika memang aturannya melarang, tutup semuanya. Tapi jika pariwisata tetap harus ada di Jatiluwih, ya keluarkan moratorium agar masyarakat tidak kehilangan masa depan,” pungkasnya. (Puspawati/balipost)

 

BAGIKAN