
DENPASAR, BALIPOST.com – Wacana otonomi khusus (Otsus) pariwisata Bali kembali mencuat seiring banyaknya pelanggaran tata ruang untuk infrastruktur dan akomodasi wisata.
Otsus ini dinilai bisa memberikan pemerintah Bali untuk membuat aturan yang lebih spesifik dan fleksibel terutama terkait investasi pariwisata dan perlindungan lingkungan.
Hingga saat ini aturan terkait ijin investasi antara pemerintah pusat dengan daerah masih tumpang tindih yang menimbulkan masalah. Salah satu contohnya terkait pembangunan lift kaca di Kelingking Beach, Nusa Penida yang melanggar sejumlah ketentuan, sehingga harus dibongkar.
Ketua Komisi II DPRD Bali, Agung Bagus Pratiksa Linggih mengatakan adanya Otsus Pariwisata bisa memberikan pemerintah Bali membuat aturan yang lebih spesifik dan fleksibel. Terutama terkait investasi pariwisata dan perlindungan lingkungan.
Terlebih budaya Hindu Bali ini sangat unik di dunia yang memerlukan aturan ketat demi konservasi budaya. “Memang untuk menjaga daya saing Bali dengan destinasi wisata lain di dunia, perlu adanya Otsus Pariwisata,” ujarnya, Selasa (25/11).
Namun demikian, Politisi Golkar ini mengatakan proses otsus ini mungkin rumit dan lama. Sehingga, menurutnya lebih cepat dan mudah kalau ada amandemen atau revisi UU Otonomi Daerah yang memberikan kewenangan dan bagi hasil pajak daerah yang lebih besar untuk provinsi-provinsi dengan kontribusi sektor spesifik yang dominan. Seperti, Bali yang dominan dengan pariwisatanya.
Akademisi Pariwisata dari Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Made Suniastha Amerta, SS.,M.Par.,CPOD., mengatakan wacana Otsus Pariwisata Bali kembali muncul setelah berbagai kasus degradasi lingkungan seperti pembangunan lift kaca yang dinilai merusak keindahan alam dan lingkungan di Kelingking Beach, Nusa Penida.
Munculnya ide ini merupakan respons atas kegagalan tata kelola pariwisata Bali selama ini. Namun, gagasan ini perlu dibedah secara kritis agar tidak berhenti sebagai slogan politik atau romantisme budaya.
Menurutnya, pertama otsus pariwisata mungkin diperlukan, tetapi bukan sekadar untuk “mengelola pariwisata”, melainkan untuk mereformasi relasi kuasa dan tata kelola antara pusat, provinsi, kabupaten/kota hingga desa adat. Salah satu masalah utama di Bali yaitu fragmentasi kebijakan.
Pariwisata dikendalikan oleh banyak aktor, mulai dari aturan nasional, perizinan administratif melalui OSS, sampai desa adat yang menjaga kawasan sakral. Akibatnya, terjadi kekosongan kewenangan yang dimanfaatkan oleh pasar dan investor, bukan oleh masyarakat.
Kedua, otsus hanya akan efektif jika dibarengi tata kelola yang transparan, partisipatif, dan berbasis riset. Tanpa mekanisme pengawasan yang kuat, otonomi khusus berpotensi menciptakan “elite capture”. Kebijakan menguntungkan segelintir pemilik modal dan jaringan politik, bukan masyarakat lokal atau ekosistem budaya.
Ketiga, harus dipahami bahwa pariwisata Bali bukan sekadar ekonomi, tetapi ekosistem budaya, spiritual, dan ekologis. Oleh karena itu, otsus harus menempatkan budaya bukan sebagai komoditas wisata, melainkan sebagai kerangka nilai yang membatasi eksploitasi ruang, sumber daya, dan identitas. Jika tidak, Bali hanya akan memperhalus wajah pariwisata massal dengan label “cultural tourism”.
Keempat, pengalaman Nusa Penida jelas menunjukkan bahwa pasar tidak akan pernah mengatur dirinya sendiri. Infrastruktur terabaikan, carrying capacity diabaikan, dan keselamatan pengunjung sering dikorbankan demi viralitas media.
Ini seharusnya menjadi pelajaran bahwa tanpa kontrol penuh terhadap perijinan, zonasi, pajak wisatawan, dan pengelolaan destinasi, pariwisata Bali akan terus bergerak menuju titik jenuh ekologis.
Kelima, otsus juga harus menjawab pertanyaan fundamental “Pariwisata Bali untuk siapa?” Apakah untuk wisatawan? investor? pemerintah? atau masyarakat adat yang sejak awal menopang eksistensi Bali melalui nilai harmoni Tri Hita Karana?
“Jadi, wacana Otonomi Khusus Pariwisata Bali bisa menjadi momentum koreksi sejarah dengan mengembalikan kendali pariwisata kepada masyarakat Bali, bukan pasar global. Namun, tanpa desain kebijakan yang berbasis data, governance yang akuntabel, serta perlindungan kuat terhadap ruang hidup dan nilai-nilai Bali, otonomi khusus berpotensi menjadi sekadar narasi tanpa transformasi,” sebutnya, Selasa (25/11).
Ia menegaskan bahwa Bali tidak hanya membutuhkan otonomi khusus. Namun, Bali membutuhkan kebijaksanaan dalam menggunakan otonomi itu untuk menjaga manusia, alam, dan budaya/adat Bali yang berkelanjutan.
Sebelumnya, Gubernur Bali Wayan Koster menegaskan bahwa Bali tidak membutuhkan status otonomi khusus yang selama ini diusulkan oleh beberapa pihak. Menurutnya, Bali sudah memiliki keistimewaan yang cukup, terutama dalam bidang budaya dan pariwisata.
“Menurut saya, kita jangan lagi ada nomenklatur otonomi khusus,” ujar Koster dalam sambutannya pada acara Rapat Koordinasi dan Sinkronisasi dalam rangka Harmonisasi Kewenangan Pusat dan Daerah melalui Evaluasi Implementasi Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, di Benoa, Badung, Kamis (6/11).
Koster menekankan bahwa Bali lebih membutuhkan kewenangan untuk mengatur hal-hal khusus yang relevan dengan karakteristik daerahnya. Ia berharap, kewenangan tersebut dapat diberikan oleh negara, tanpa perlu adanya status otsus.
“Tidak perlu otonomi khusus, tapi dia (Bali,red) diberikan kewenangan untuk mengatur hal-hal yang sifatnya khusus, kan beda,” tambah Koster.
Menurut Koster, Bali memerlukan dukungan anggaran untuk pemajuan kebudayaan, mengingat karakter budaya dan pariwisatanya yang sangat kuat. Namun, saat ini regulasi yang ada cenderung hanya mengakomodasi daerah yang memiliki kekayaan alam, seperti tambang dan sumber daya alam lainnya, melalui alokasi dana bagi hasil.
Selain itu, Koster juga mengingatkan pentingnya pembangunan infrastruktur dan peningkatan keamanan untuk mendukung pariwisata Bali. Ia mengungkapkan, dengan meningkatnya jumlah wisatawan, kebutuhan akan infrastruktur yang baik serta peningkatan keamanan menjadi hal yang tidak bisa diabaikan. (Ketut Winata/balipost)










