
DENPASAR, BALIPOST.com – Tim Panitia Khusus Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (Pansus TRAP) DPRD Provinsi Bali kini sedang mendalami hasil kajian terhadap proyek pembangunan lift kaca di Pantai Kelingking, Nusa Penida setelah ditemukan sejumlah pelanggaran pada saat sidak, Jumat (31/10). Pendalaman kajian dilakukan untuk menentukan langkah selanjutnya terhadap proyek Rp60 miliar tersebut.
Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, I Made Supartha menegaskan berdasarkan hasil evaluasi di lapangan, proyek lift kaca tersebut ternyata memiliki tingkat risiko tinggi karena dibangun di tebing setinggi 180 meter. Namun, izin yang diajukan oleh pihak pengembang ke dalam sistem OSS (Online Single Submission) tercatat sebagai bangunan berisiko rendah.
Sehingga perizinannya dikeluarkan oleh Pemerintah Kabupaten Klungkung. “Seharusnya kalau sudah berisiko tinggi, izin dan kajian dilakukan oleh provinsi dan pemerintah pusat. Tapi faktanya, izin yang ada masih belum lengkap dan sebagian belum keluar,” ujarnya, Kamis (6/11).
Selain itu, dari hasil sidak ke lapangan ditemukan sejumlah izin yang diklaim telah dimiliki pengembang ternyata belum lengkap.
Dikatakan, proyek tersebut bertentangan dengan sejumlah regulasi, termasuk Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, serta Perda Nomor 2 Tahun 2003 tentang Tata Ruang.
Dari regulasi ini disebutkan bahwa tidak boleh ada kegiatan di tebing. Bahkan jaraknya sampai kurang lebih satu setengah kali kedalaman jurang baru boleh ada kegiatan di sampingnya. “Jadi kalau jurang tingginya 180 meter, ya sekitar 270 meter dari tepi baru boleh ada kegiatan,” terangnya.
Selain melanggar tata ruang, proyek lift kaca itu juga dinilai mengganggu estetika lingkungan dan bertentangan dengan Perda Nomor 5 Tahun 2020 tentang Pariwisata Budaya Bali. “Daya tarik Bali itu dari dulu adalah adat, budaya, dan alamnya. Orang datang ke Bali karena keunikan itu. Sekarang daya tariknya malah gelas-gelas kaca, itu tidak nyambung dengan konsep pariwisata budaya kita,” ujarnya.
Dari aspek keselamatan, proyek tersebut juga melanggar Perda Nomor 5 Tahun 2019 tentang Bangunan dan Ketinggian Gedung serta Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja (K3). “Ketinggian bangunan kita maksimal lima lantai atau 15 meter, setinggi pohon kelapa. Sekarang ini tingginya 180 meter, dan lift-nya di luar gedung, bukan di dalam ruangan. Kalau nanti ada korban, bagaimana?” kata Supartha.
Dari hasil peninjauan lapangan, sebagian konstruksi bahkan disebut sudah berdiri di atas zona perlindungan, sementara beberapa bagian lainnya dibangun dengan beton tanpa izin pemanfaatan tanah negara.
Kondisi tersebut juga dinilai berpotensi melanggar Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1970 tentang Keselamatan Kerja, karena dibangun di area curam tanpa rekomendasi teknis keselamatan yang memadai.
Lebih lanjut, Supartha menyebut bahwa Pemerintah Provinsi Bali belum pernah mengeluarkan rekomendasi resmi terhadap proyek tersebut. “Surat yang sempat diklaim sebagai rekomendasi ternyata hanyalah jawaban administrasi atas permintaan informasi, bukan dokumen perizinan yang memiliki kekuatan hukum,” ungkapnya.
Atas dasar itu, Pansus DPRD Bali akan menunggu hasil kajian lengkap dari tim teknis sebelum mengeluarkan rekomendasi akhir. Sanksi yang mungkin dijatuhkan mencakup penutupan sementara, pencabutan izin, hingga pembongkaran bangunan, apabila ditemukan pelanggaran berat terhadap peraturan tata ruang dan perizinan.
“Kalau terbukti tidak sesuai dengan peraturan, tentu bisa dikenakan sanksi administratif, bahkan sampai pembongkaran,” tegas Supartha.
Terkait tindak lanjut, Supartha mengatakan bahwa proyek tersebut sementara ditutup hingga ada keputusan resmi. “Statusnya sementara tutup dulu sampai ada keputusan resmi. Nanti kita perdalam lagi dengan tim Pansus dan OPD terkait,” tandasnya.
Namun demikian, Ketua Fraksi PDI Perjuangan DPRD Bali ini menegaskan bahwa proses pemanggilan terhadap pihak investor akan dilakukan oleh Satpol PP sebagai penegak perda. Rencananya, akan dilakukan rapat dengar pendapat (RDP) pekan depan.
Sementara itu, Wakil Ketua Pansus TRAP DPRD Bali, Anak Agung Bagus Tri Candra Arka atau yang akrab disapa Gung Cok, menegaskan bahwa proyek lift kaca tersebut jelas-jelas melanggar sejumlah aturan. Mulai dari pelanggaran tata ruang, pelanggaran garis sempadan pantai, hingga tidak terpenuhinya aspek keselamatan dan kesehatan kerja (K3).
“Zona atau wilayah tempat pembangunan lift kaca sudah tidak sesuai. Jarak dari tebing dan jarak dari bibir laut sudah dilanggar. Bangunan ini bahkan sebagian sudah berdiri di atas pasir pantai, padahal kawasan itu seharusnya masuk zona perlindungan,” ungkap politisi Partai Golkar ini.
Menurutnya, proyek ini adalah contoh nyata lemahnya sistem perizinan berbasis OSS yang selama ini menjadi acuan utama bagi investor. Banyak izin yang keluar hanya berdasarkan data administratif tanpa verifikasi lapangan yang memadai.
“Selama ini perizinan berpatokan pada OSS, tapi kenyataan di lapangan tidak sesuai dengan yang diajukan. Investor bisa saja menulis kategori risiko rendah di sistem agar izinnya cepat keluar, padahal faktanya di lapangan sangat berisiko tinggi,” ungkapnya.
la menambahkan, dengan kondisi bangunan yang sudah berdiri di atas pasir pantai dan melanggar jarak dari tebing, tidak ada lagi ruang untuk memperbaiki atau membenahi izin. “Bangunan ini sudah berdiri di atas pasir pantai dan jaraknya sudah melanggar. Tidak ada lagi untuk membenahi izin, karena sejak awal peruntukannya sudah salah. Ini harus jadi pelajaran bagi kita semua,” tegasnya.
Namun demikian, Gung Cok menekankan bahwa sikap tegas DPRD bukan berarti menolak kehadiran investor di Bali. la justru menegaskan bahwa DPRD Bali dan pemerintah provinsi sangat terbuka bagi investor yang datang dengan itikad baik dan taat terhadap regulasi yang berlaku.
“Bukan berarti kita alergi terhadap investor. Justru sebaliknya, kita sangat welcome dengan investor yang datang ke Bali. Tapi mereka harus taat terhadap regulasi perizinan, tata ruang, dan nilai-nilai budaya yang menjadi roh pariwisata kita,” ujarnya.
Gung Cok berharap kasus lift kaca di Nusa Penida menjadi momentum penting bagi pemerintah untuk mengevaluasi sistem perizinan investasi di Bali, agar tidak lagi terjadi proyek-proyek yang mengabaikan aturan dan membahayakan lingkungan. Ia tidak ingin Bali dijadikan tempat eksperimen pembangunan ekstrem yang justru merusak citra pariwisata budaya Bali. Investasi itu penting, tapi jangan sampai mengorbankan alam dan kearifan lokal,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)









