
DENPASAR, BALIPOST.com – Gubernur Bali, Wayan Koster memberikan jawaban dan penjelasan atas Pandangan Umum Fraksi-fraksi DPRD Bali terhadap 5 Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) Provinsi Bali dalam Rapat Paripurna ke-18 DPRD Bali, di Gedung Wiswa Sabha Utama, Kantor Gubernur Bali, Senin (22/12).
Raperda tersebut adalah Ranperda tentang Pelindungan Pantai dan Sempadan Pantai Untuk Kepentingan Upacara Adat, Sosial, dan Ekonomi Masyarakat Lokal; Ranperda tentang Pendirian Perusahaan Umum Daerah Kerta Bhawana Sanjiwani; Ranperda tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah; Ranperda tentang Pengendalian Toko Modern Berjejaring; dan Ranperda tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Produktif dan Larangan Alih Kepemilikan secara Nominee.
Terhadap Ranperda tentang Pelindungan Pantai dan Sempadan Pantai Untuk Kepentingan Upacara Adat, Sosial, dan Ekonomi Masyarakat Lokal, Koster setuju mengenai pengaturan tentang penegasan batas sempadan pantai, mekanisme perizinan, serta aktivitas komersial pada Pantai dan Sempadan Pantai. Peran serta masyarakat dalam muatan Raperda telah diakomodir dalam Raperda. Begitu juga Desa Adat telah menjadi bagian dari masyarakat yang dapat berperan dalam pelindungan Pantai dan Sempadan Pantai.
Terkait usulan perubahan pada judul frase “upacara adat” diubah menjadi “upacara agama”, dan saran mengenai rumusan norma terkait indikator tolok ukur keberhasilan, frase “kepentingan”, disarankan untuk dibahas lebih lanjut dengan lembaga keagamaan dan lembaga adat.
Terkait peta digital, Ranperda ini tidak mengatur peta tersendiri agar tidak menimbulkan pengaturan baru dalam pengaturan pemanfaatan ruang. Sebab, ada prinsipnya Raperda telah mengatur ketentuan aktivitas maupun kegiatan yang dapat dilaksanakan dan dilarang di kawasan Pantai dan Sempadan Pantai.
Koster mengatakan penyusunan Ranperda ini dilandasi pertimbangan kebutuhan mendesak untuk memberikan ruang terhadap kegiatan adat/agama, kegiatan ekonomi masyarakat, dan kegiatan sosial di pantai dan sempadan pantai.
Terhadap Ranperda tentang Pendirian Perusahaan Umum Daerah Kerta Bhawana Sanjiwani, Koster mengungkapkan bahwa telah dilakukan penyesuaian Naskah Akademis mengenai kegiatan usaha Perumda dan pemutakhiran data melalui sinkronisasi dengan perangkat daerah, UPTD, dan hasil FGD akan terus diperbarui dalam Rencana Bisnis dan Rencana Kerja dan Anggaran Perusahaan (RKAP). Dikatakan, BUMD ini berbentuk Perumda karena modal dasarnya berasal dari pemerintah daerah yaitu Pemerintah Provinsi Bali.
Pencantuman modal dasar dan modal disetor dalam Ranperda telah sesuai dengan ketentuan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 54 Tahun 2017 tentang Badan Usaha Milik Daerah.
“Pendirian BUMD ini dalam bentuk perumda tujuan utamanya untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat dan mendorong perekonomian daerah. Pengelolaannya dilaksanakan sesuai prinsip-prinsip tata kelola yang baik,” ujar Gubernur Koster.
Koster juga mengatakan bahwa produk dari BUMD ini untuk menyediakan air bersih bagi para pelanggannya, yaitu PDAM, bukan kepada masyarakat secara langsung. Apalagi, pendirian BUMD ini sudah melalui tahapan analisa kebutuhan daerah dan analisa kelayakan bisnis dan sudah dinyatakan layak.
Dikatakan, pada tahap awal, BUMD Kerta Bhawana Sanjiwani akan menangani pengelolaan air melalui mekanisme Kerjasama Pemerintah dan Badan Usaha (KPBU). Pada tahap selanjutnya terbuka kemungkinan untuk mengintegrasikan UPTD PAM dan UPTD PAL dengan mempertimbangkan kapasitas BUMD dan kebutuhan layanan.
Terhadap Ranperda tentang Perubahan Keempat Atas Peraturan Daerah Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pembentukan dan Susunan Perangkat Daerah, Koster menyampaikan bahwa untuk memastikan dinas tidak sekadar “menambah struktur tanpa arah”, pihaknya akan melakukan penataan internal yang efisien. Tolok ukur keberhasilannya adalah terciptanya ekosistem produk kreatif masyarakat Bali (kriya, pertunjukan, kuliner) terserap maksimal oleh industri pariwisata, sehingga memberikan manfaat ekonomi langsung bagi krama Bali.
Penyelarasan arah kebijakan dan perencanaan perubahan nomenklatur akan langsung diikuti dengan revisi dokumen perencanaan strategis (Renstra) Perangkat Daerah agar selaras dengan RPJPD Semesta Berencana Provinsi Bali Tahun 2025-2045 dan visi Ekonomi Kerthi Bali.
Terkait pergeseran anggaran dengan dibentuknya Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif akan dikoordinasikan setelah hasil evaluasi Raperda APBD Tahun Anggaran 2026 disampaikan.
Terhadap Ranperda tentang Pengendalian Toko Modern Berjejaring, Gubernur Koster menyampaikan bajwa penetapan zonasi dan jarak akan diselaraskan dengan RDTR Kota/Kabupaten, kondisi sosial, ekonomi, dan budaya masing-masing wilayah, melalui koordinasi dengan pemerintah Kota/Kabupaten.
Terkait pengawasan, evaluasi, dan sanksi, Ranperda ini akan diarahkan untuk dilengkapi dengan mekanisme pengawasan yang terstruktur dan berkelanjutan, evaluasi berkala terhadap pelaksanaan ketentuan serta sanksi administratif yang efektif dan proporsional.
Terhadap kekhawatiran norma yang terlalu restriktif, Koster mengajak Dewan bersama-sama melakukan harmonisasi dan sinkronisasi norma, agar materi muatan Raperda tetap sejalan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, tidak diskriminatif, serta menjunjung asas keadilan dan proporsionalitas dalam berusaha. Sebab, Ranperda ini membuka ruang pengaturan pola kemitraan, termasuk pemanfaatan produk UMKM lokal, pemberdayaan pedagang kecil, serta penguatan rantai pasok lokal sebagai bagian dari ekosistem perdagangan Bali. Apalagi, pengendalian toko modern berjejaring akan dibarengi dengan upaya pembinaan dan penguatan UMKM.
Koster menegaskan bahwa perizinan hanya dapat diterbitkan apabila memenuhi seluruh persyaratan tata ruang, zonasi, dan ketentuan daerah. “Berkenaan dengan pertanyaan tentang standar yang dipakai acuan dalam penetapan lokasi, jarak dan jam operasional, dapat saya jelaskan bahwa spirit utama Raperda ini adalah memberikan arahan kepada Pemerintah Kota/Kabupaten dan pelaku usaha perdagangan untuk memberikan ruang yang memadai bagi UMKM lokal. Pengaturan-pengaturan teknis sebagai penjabaran arahan ini dilakukan oleh Pemerintah Kota/Kabupaten,” tegasnya.
Terakhir, terhadap Rabperda tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Produktif dan Larangan Alih Kepemilikan Lahan Secara Nominee, Gubernur Koster mengatakan bahwa penyusunan Ranperda tentang Pengendalian Alih Fungsi Lahan Produktif dan Larangan Alih Kepemilikan Lahan Secara Nominee yang mengatur beberapa materi pokok seperti pengaturan lahan produktif dan pengendalian lahan produktif serta pengaturan larangan alih fungsi lahan produktif dan kepemilikan lahan secara nominee merupakan wujud nyata upaya Pemerintah Provinsi Bali dalam menempatkan pelestarian ruang hidup serta pelindungan masyarakat lokal sebagai fondasi utama Pembangunan Bali ke depan.
Kewenangan Pemerintah Provinsi Bali untuk mengatur Larangan Alih Kepemilikan Lahan Secara Nominee mengacu pada ketentuan UU No. 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah yang didasarkan pada prinsip desentralisasi. Pihaknya menegaskan bahwa Ranperda ini disusun tidak hanya dalam upaya untuk mencegah alih fungsi lahan produktif yang dilakukan dengan atau tanpa perjanjian nominee, namun juga berupaya melindungi tanah di Provinsi Bali dari penguasaan WNA melalui praktik nominee yang menyimpang dari semangat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria.
Sebab, Ketentuan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata mengandung prinsip fundamental hukum perjanjian yang menjadi dasar asas kebebasan berkontrak atau yang dikenal dengan asas pacta sunt servanda. Akan tetapi terdapat poin penting yang harus dipenuhi agar perjanjian tersebut dapat berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak, yaitu harus sesuai dengan asas-asas sahnya suatu perjanjian, termasuk perjanjian terkait penguasaan lahan.
Penguasaan lahan oleh WNA melalui perjanjian nominee tidak sesuai dengan asas nasionalitas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Apalagi, larangan alih kepemilikan lahan secara nominee tidak terkait langsung dengan tugas-tugas BPN.
“Pada umumnya perjanjian nominee dibuat di notaris. Perda tentang larangan ini berlaku bagi pejabat, lembaga, instansi yang memfasilitasi perjanjian kepemilikan lahan secara nominee oleh WNA,” tegas Koster.
Koster menyampaikan bahwa Ranperda ini bertujuan untuk melindungi lahan produktif serta mencegah seluruh praktik pengalihan hak milik atas tanah secara Nominee oleh WNA tanpa membedakan status lahan tersebut. Pelindungan terhadap lahan produktif dimaksudkan untuk memastikan terwujudnya kedaulatan pangan. Larangan alih kepemilikan lahan secara nominee dalam Ranperda ini hanya berlaku untuk WNA.
Terkait inkonsistensi dalam penggunaan istilah Pemilikan, Pengalihan dan Penguasaan pada Naskah Akademis Raperda akan dilakukan perbaikan/penyesuaian kembali agar tidak menimbulkan tafsir yang berbeda (multitafsir).
Lebih lanjut dikatakan bahwa LP2B sudah diatur dalam RDTR yang menjadi acuan dalam penerbitan KKPR (Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang) melalui OSS. Karena itu, Raperda ini tidak perlu mengatur tentang integrasi LP2B ke sistem OSS. Tata cara pemberian insentif dan disinsentif akan diatur dalam Peraturan Gubernur sebagai peraturan pelaksanaan dari Peraturan Daerah. Pembinaan dilakukan dalam bentuk langkah/kegiatan meliputi koordinasi; sosialisasi; bimbingan, supervisi, dan konsultasi; pendidikan, pelatihan, dan penyuluhan; penyebarluasan informasi Lahan Produktif Tanaman Pangan, Tanaman Holtikultura; dan Tanaman Perkebunan dan/atau peningkatan kesadaran dan tanggung jawab masyarakat. Pengawasan yang dilakukan berupa kegiatan pemantauan dan evaluasi serta pelaporan. (Ketut Winata/balipost)










