
DENPASAR, BALIPOST.com – Anggaran penanganan HIV/AIDS di Kota Denpasar turun dari Rp2,5 miliar di tahun 2025 menjadi Rp2,2 miliar di tahun 2026. Penurunan anggaran ini dikhawatirkan berdampak pada penanganan HIV/AIDS di Denpasar terutama dalam pencapaian target jalur cepat 95-95-95 tahun 2030.
Kepala Dinas Kesehatan Denpasar, dr. AA. Ayu Agung Candrawati, Selasa (28/10), mengatakan, pihaknya menargetkan kenaikan sasaran penanganan ODHIV dan kelompok berisiko. “Kami menargetkan 100 persen orang dengan HIV (ODHIV) mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar yaitu tahun 2025 sebanyak 6.283 orang dan tahun 2026 sebanyak 6.318 orang,” ujarnya.
Selain itu, Diskes menargetkan 100 persen orang dengan risiko terinfeksi HIV mendapatkan pelayanan kesehatan sesuai standar yaitu tahun 2025 sebanyak 13.036 orang dan tahun 2026 targetnya 13.422 orang.
Untuk mencapai target tersebut, alokasi APBD Kota Denpasar untuk penanganan HIV/AIDS tahun 2025 sebesar Rp2,5 miliar dan dari APBDes sebesar Rp728 juta. Sedangkan di tahun 2026, anggaran dari APBD Kota Denpasar turun menjadi hanya Rp2,2 miliar, sedangkan dari APBDes belum dilakukan inventarisasi data.
“Penganggaran untuk pencegahan dan pengendalian HIV/AIDS di Kota Denpasar sudah dianggarkan melalui APBD dan APBD desa yaitu dari sub kegiatan pengelolaan pelayanan kesehatan orang dengan risiko HIV, sub kegiatan pelayanan kesehatan orang dengan HIV, dan APBD desa dan kelurahan,” ujarnya.
Alokasi dana itu digunakan untuk kegiatan preventif, promotif, kuratif dan rehabilitatif seperti, sosialisasi, penyuluhan (KIE) dan kampanye bahaya HIV AIDS, penyediaan kondom, penguatan sumber daya manusia.
Anggaran juga digunakan untuk pemetaan populasi kunci, penjangkauan dan pendampingan ODHIV, penelusuran ODHIV Lost to Follow Up (LFU) dan notifikasi pasangan, bantuan sembako untuk ODHIV kurang mampu.
Diskes juga menganggarkan pengadaan reagen HIV untuk pemeriksaan HIV, layanan konseling tes sukarela, pengadaan reagen CD4, pengadaan cartridge viral load, pengadaan reagen RPR dan sifilis, pengadaan bahan habis pakai (alcohol swab, tabung, jarum vacutainer, dan kertas tissue halus), penguatan layanan konseling tes sukarela, dan layanan perawatan dukungan dan pengobatan.
Technical Officer Program Swakelola Tipe III, Made Suprapta mengatakan, dengan berkurangnya pendanaan dari Global Fund (GF), penanganan HIV/AIDS mengandalkan anggaran pemerintah. Sebelumnya, pendanaan dari GF mencapai 80 persen dan 20 persen dari pemerintah, namun sejak 2020, Bank Dunia menetapkan Indonesia masuk sebagai upper middle income country.
Implikasinya, GF mengurangi bantuan ke Indonesia dan 2024-2026 pendanaan mulai berkurang. Konsekuensinya, program penanganan HIV/AIDS wajib menjadi tanggung jawab pemerintah. Namun ternyata anggaran pemerintah pun berkurang.
Sementara, tahun 2030 Indonesia menargetkan mencapai target 95-95-95, eliminasi HIV 2030. Dengan rumus STOP yang merupakan singkatan dari Suluh, Temukan, Obati, Pertahankan.
Suluh ke masyarakat dengan target 95 persen masyarakat paham tentang isu HIV-AIDS.
Temukan 95 persen yaitu pada populasi berisiko yang terjangkau ditargetkan 95 persen mengetahui status HIVnya (ODHIV).
Obati 95 persen yaitu ODHIV mendapatkan terapi antiretroviral (ARV). Pertahankan 95 persen yaitu ODHIV yang mendapat terapi ARV mempertahankan virusnya tersupresi.
Agar dapat menjaga keberlanjutan program, pihaknya mengembangkan pola kemitraan yang lebih besar, kuat dan setara antara pemerintah dengan LSM dalam program HIV/AIDS, berupaya mendorong penciptaan regulasi-regulasi terkait dengan pola-pola kemitraan pemerintah dengan LSM agar tepat guna, tepat sasaran, tertib hukum dan administrasi dan mengembangkan pembiayaan inovatif terutama dukungan pembiayaan kerja-kerja LSM. (Citta Maya/balipost)










