Pansus TRAP DPRD Bali saat sidak, Rabu (17/9/2025) lalu. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Langkah Pansus TRAP DPRD Bali yang belakangan aktif melakukan sidak ke sejumlah kawasan diapresiasi kalangan akademisi. Langkah ini layak didukung semua elemen sebagai bentuk kebersamaan dalam menjaga tata kelola Bali yang lebih baik.

Proteksi terhadap kawasan hulu mendesak dilakukan sebagai upaya memperkuat ketahanan Bali menghadapi dampak bencana hidrologi.

Pandangan ini disampaikan dua akademisi yang dihubungi secara terpisah, Minggu (26/10).

Akademisi Fakultas Pascasarjana Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H., mengatakan penguasaan lahan secara melawan hukum di kawasan konservasi Taman Hutan Rakyat (Tahura) berpotensi melanggar ketentuan pidana sebagai bentuk kejahatan terhadap lingkungan.

Temuan Pansus TRAP yng disampaikan ke publik mendiskripsikan adanya indikasi pelanggaran terhadap tata ruang dan konservasi khususnya di kawasan Tahura Ngurah Rai. “Kawasan tersebut sejatinya merupakan kawasan konservasi negara yang memiliki fungsi lindung, sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Kehutanan No. 945/Kpts-II/1984 dan diperkuat oleh UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan,” jelasnya.

Namun, kata Wayan Rideng, fakta lapangan menunjukkan bahwa sebagian besar area mangrove dan sempadan sungai di kawasan ini telah dikuasai dan dimiliki secara pribadi dengan status Sertifikat Hak Milik (SHM), serta digunakan untuk pembangunan perumahan, dan vila.

Baca juga:  Enam Kabupaten di Bali Rasakan Guncangan Gempa Blitar

Bahkan diduga telah terbit ratusan sertifikat dalam bentuk SHM dan nampak terdapat aktivitas pembangunan ilegal.

Fakta ini tidak hanya menyalahi peraturan tata ruang, tetapi juga berpotensi menjadi kejahatan hukum, karena menyangkut penguasaan tanah negara, perusakan lingkungan, dan penyalahgunaan wewenang.

Menurut Pasal 69 ayat (1) huruf c UU No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, menyatakan adanya larangan untuk menguasai, menggunakan, memanfaatkan, dan/atau mengubah ruang yang tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Bahkan pada ayat (2) menegaskan sanksi pidana bagi pelanggarnya.

Di samping itu, menurut UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan, mengatur terhadap larangan melakukan kegiatan, memiliki dan/atau menguasai kawasan hutan secara tidak sah. “Dengan demikian, kepemilikan SHM di kawasan konservasi secara substansi merupakan bentuk pelanggaran hukum berat, yang masuk kategori perbuatan pidana kehutanan,” tegas Rideng, Minggu (26/10).

Lebih jauh Rideng mengatakan dari perspektif hukum lingkungan menurut UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, menentukan tindakan pembangunan di kawasan hutan lindung yang merusak ekosistem termasuk tindak pidana lingkungan hidup (environmental crime).

Ia menegaskan bilamana dilakukan secara masif dari presfektif krimonologi lingkungan (green criminology), bila dugaan tersebut benar adanya terhadap praktik penerbitan SHM dan aktivitas pembangunan di kawasan konservasi di kawasan Tahura Ngurai Rai dapat dikategorikan kejahatan pertanahan (Land Crime).

Baca juga:  Wajib PCR dan Antigen Perjalanan Domestik Dihapus, SE Satgas Terbaru Atur Syaratnya

Karena dilakukan oleh individu atau korporasi dengan dukungan struktur administratif, menyebabkan kerugian ekologis, sosial, dan ekonomi publik; dan sulit diungkap karena dibungkus melalui prosedur legal-formal (misalnya sertifikat BPN).

“Kejadian tersebut, bilamana dihubungkan dengan kejadian banjir dahsyat, bahwasanya banjir besar tidak hanya disebabkan oleh curah hujan tinggi, tetapi merupakan akumulasi akibat kejahatan tata ruang dan kehutanan. Penghilangan kawasan resapan, penimbunan mangrove, dan penyempitan sungai menyebabkan sistem hidrologi alami Bali kolaps,” tandasnya.

Ketua Forum Daerah Aliran Sungai (DAS) Bali, Prof. Dr. I Made Sudarma, M.S., berharap Pansus TRAP DPRD Bali tidak saja melakukan pengawasan dan penertiban di kawasan hilir saja, namun kawasan hulu. Karena di hulu lebih mengarah pada pelanggaran tata ruang. Apalagi, pengendalian di daerah hulu menjadi kunci dalam mengurangi banjir ke daerah hilir.

“Pansus hendaknya jangan hanya melakukan sidak atau pemantauan di daerah hilir saja (Tahura,red), tetapi pemantauan ke daerah hulu terhadap kesesuaian tata ruang dengan implementasi di lapangan seharusnya juga dilakukan. Pemantauan di daerah hilir harus dilanjutkan ke daerah hulu karena air mengalir dari hulu ke hilir,” harapnya.

Baca juga:  Polda Metro Siap Amankan Demo BEM Seluruh Indonesia

Belajar dari kasus banjir bandang yang dialami Bali, maka untuk memperkuat ketahanan dan mengurangi risiko banjir di masa depan ada sejumlah kebijakan dan langkah-langkah strategis yang bisa diterapkan oleh pemerintah.

Di antaranya, penataan dan penguatan zona hulu dan DAS, melakukan penghijauan dan rehabilitasi vegetasi di daerah hulu dan juga wilayah DAS, kawasan hutan, dan di luar kawasan hutan dengan tanaman yang dapat menahan erosi dan memperbanyak resapan air ke dalam tanah serta memperlambat aliran air permukaan.

Selain juga melalukan sinkronisasi tata ruang, penegakan sempadan sungai dan perbaikan sistem drainase, serta pelibatan masyarakat melalui pembayaran jasa lingkungan.

Prof. Sudarma menegaskan bahwa banjir besar di Bali pada 10 September 2025 tidak sekadar curah hujan ekstrem tetapi juga akibat kegagalan dalam sistem pengelolaan wilayah hulu-hilir, ruang sungai, dan sistem drainase yang kurang memadai.

Menurutnya Bali dapat meningkatkan resiliensinya atau kemampuan bertahannya terhadap bencana hidrometeorologi dan menjaga keberlanjutan lingkungan di masa depan apabila adanya komitmen yang kuat dan sungguh-sungguh dari pemerintah daerah dalam penegakan tata ruang melalui konsep pembangunan berketahanan iklim,” saranya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN