
NEGARA, BALIPOST.com – Di tengah derasnya arus musik modern, denting khas genggong (alat musik tradisional dari bambu) pelan tapi pasti masih terdengar di Desa Penyaringan, Kecamatan Mendoyo, Jembrana, Bali. Kesenian warisan masyarakat agraris tersebut kini berada di ujung napas, hanya dimainkan oleh segelintir warga yang masih setia menjaga tradisi.
Di beberapa banjar di Penyaringan, masih ada kelompok kecil yang berusaha mempertahankan alunan khas alat musik sederhana ini. Namun jumlah pemainnya terus menyusut, sebagian besar karena usia yang menua dan minimnya regenerasi.
“Selain kendang mebarung dan jegog, di sini juga ada sekaa alat musik genggong, tapi sudah sangat sedikit,” tutur Perbekel Penyaringan, I Made Dresta.
Pemerintah desa maupun desa adat katanya, terus berupaya memberi ruang bagi para seniman agar bisa tampil dalam berbagai ajang, seperti Parade Budaya dan karya Yadnya di desa.
Salah satu sosok yang masih teguh memainkan genggong adalah Gede Sumarwan warga Banjar Penyaringan. Petani sekaligus klian subak ini sudah akrab dengan genggong sejak duduk di bangku sekolah dasar.
Bakat itu ia warisi dari sang ayah, almarhum Wayan Runjen, seorang seniman genggong yang dulu aktif di sekaa seni desa. Memainkan genggong tidak semudah kelihatannya.
Nafas harus kuat, jari lentur, dan perasaan halus dalam menyesuaikan nada agar selaras dengan irama jegog yang biasanya mengiringinya. Idealnya ada sepuluh pemain, lengkap dengan suling dan kletuk sebagai penanda irama.
Namun seiring berkembangnya jaman dan minat yang berkurang, paling banyak dua orang yang masih bisa memainkan.
Alat musik khas Penyaringan ini lahir dari kebiasaan para petani meniru suara kodok di sawah. Mereka membuat alat dari enau atau bambu yang dilubangi dan diberi tali untuk menghasilkan bunyi.
Saat tali ditarik, getaran bambu berpadu dengan udara di mulut pemain, menciptakan suara nyaring yang mirip kodok bersahutan di malam hari
Memainkan alat musik ini tidak mudah, perlu keluwesan dan ketrampilan. Genggong kerap dimainkan dalam upacara manusa yadnya atau untuk menyambut tamu penting di desa. Perhatian lebih untuk kesenian ini perlu, terlebih minat sudah mulai berkurang.
Bukan hanya untuk menjaga genggong tetap hidup, tetapi juga agar generasi muda mau mengenal dan mencintai kembali kesenian yang lahir dari kehidupan petani di sawah ini. (Surya Dharma/balipost)










