Suasana Pasamuhan Alit Kebudayaan Bali (PAKB) 2025 "Menjaga Tanah Bali dan Ketahanan Budaya dalam Industri Pariwisata Bali", di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Rabu (22/10). (BP/Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Keberlangsungan budaya Bali tergantung pada tiga unsur. Hal ini disampaikan Akademisi Prof. Dr. Wayan P. Windia saat menjadi pembicara dalam Pasamuhan Alit Kebudayaan Bali (PAKB) 2025, Rabu (22/10) yang diselenggarakan Majelis Kebudayaan Bali (MKB) bersama Dinas Kebudayaan Provinsi Bali di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali.

Ada pun tiga unsur yang dimaksud adalah Agama Hindu, krama Bali, dan tanah Bali. Tanpa salah satu dari ini, budaya Bali akan terancam hilang.

Windia menekankan peran penting desa adat dan subak sebagai dua sistem lokal yang mengatur kehidupan spiritual, sosial, dan ekologis. Meski sudah diatur dalam undang-undang dan perda, dukungan anggaran pemerintah terhadap keduanya dinilai masih lemah, termasuk dari pungutan wisatawan asing yang belum jelas penggunaannya.

Baca juga:  29 Kawasan Pariwisata Konservasi Dapat Dibuka Bertahap

Ketimpangan juga terjadi dalam alokasi dana pelestarian budaya. Banyak anggaran untuk seni pertunjukan, sementara aspek penting seperti bahasa, aksara, dan pengetahuan lokal cenderung terabaikan. Padahal, menurutnya, roh budaya Bali ada di bahasa dan pengetahuan lokal.

Windia menyoroti masalah serius: alih fungsi lahan dan migrasi yang tak terkendali. Ia menyebut, jumlah krama Bali yang lahir tiap tahun setara dengan jumlah pendatang baru. Ini berpotensi menggerus keseimbangan sosial dan ruang hidup.

Ia merekomendasikan: edukasi untuk masyarakat adat, validasi data penduduk (krama Bali), kebijakan tegas alih fungsi lahan, dan transparansi anggaran pelestarian budaya.

Baca juga:  Gede Palguna: Orang Bali Kini Mulai Tersingkir dari Tanah Kelahirannya

Sementara itu, Prof. Dr. I Made Bandem mengusulkan strategi baru, yaitu Desa Budaya. Konsep ini bertujuan memperkuat desa adat melalui pengelolaan budaya, pendidikan, ketahanan tradisi, dan ekonomi kreatif.

Bandem menyatakan bahwa Desa Budaya adalah implementasi nyata dari visi Nangun Sat Kerthi Loka Bali, yang menjadikan kebudayaan sebagai sumber nilai dan kesejahteraan. Desa Budaya bertumpu pada tiga pilar: Warisan budaya (benda dan tak benda), SDM dan lembaga kebudayaan lokal, Ketahanan budaya dan ekonomi kreatif desa.

Bali, kata Bandem, memiliki modal budaya luar biasa: dari tari-tarian yang diakui UNESCO, hingga sistem subak yang juga jadi warisan dunia. Tapi pengakuan itu bukan akhir, melainkan tanggung jawab moral untuk terus melestarikannya.

Baca juga:  Diduga Jual Vila Fiktif, Pemilik Perusahaan Properti Diamankan

Ia mendorong optimalisasi lembaga ekonomi desa seperti BUMDes dan BUPPDA (Badan Usaha Pelaksana Pariwisata Desa Adat), serta pengembangan ekonomi kreatif berbasis budaya, termasuk seni pertunjukan, kriya, kuliner, konten digital, hingga desain berbasis nilai-nilai Bali.

“Pariwisata berbasis komunitas (community-based tourism) harus menjadi model utama. Keuntungan pariwisata harus kembali untuk kesejahteraan masyarakat desa, bukan hanya investor,” tegasnya.

Menurut Bandem, jika desa kuat dalam budaya, maka Bali berdaulat. Jika desa kehilangan rohnya, Bali kehilangan jiwanya. (Ketut Winata/balipost)

BAGIKAN