
DENPASAR, BALIPOST.com – Banjir bandang yang terjadi di Bali pada Rabu (10/9) tak semata-mata karena curah hujan yang tinggi, meski BMKG menyebut curah hujan pada Rabu itu mencapai 380 milimeter yang setara dengan curah hujan satu bulan penuh.
Kesalahan dalam mengelola tata ruang juga menjadi sorotan sejumlah pihak. Menurut Pengamat Tata Ruang dari Fakultas Teknik dan Perencanaan Universitas Warmadewa (Unwar), Prof. Rumawan Salain, Minggu (14/9), setiap tahun ada 1.700 hektare lahan di Bali yang beralih fungsi.
Kota Denpasar, Kabupaten Badung dan Gianyar paling parah. Mencapai 400–500 hektare per tahun. Hal inilah yang menyebabkan banjir bandang yang melanda sejumlah wilayah di Bali pada Rabu, 10 September 2025.
Prof. Rumawan Salain mengatakan kondisi ini membuat tata ruang di Bali kini semakin mengkhawatirkan. Diungkapkan, derasnya arus investasi menjadi pemicu utama pergeseran fungsi lahan.
Namun, pola pembangunan yang terlalu terpusat di kawasan tertentu juga memperparah masalah. “Jangan semua investasi menumpuk di Denpasar dan Badung. Wilayah lain juga harus berkembang, dengan infrastruktur yang jelas. Ini adalah solusi yang kita harapkan,” ujarnya.
Apalagi, ia menilai mahalnya harga tanah di kawasan perkotaan sejatinya turut membuat investor kesulitan mengembalikan modal. Sehingga, pemerataan pembangunan menjadi langkah strategis. Namun, pemerataan tersebut harus ditopang infrastruktur yang memadai dan terintegrasi dengan tata ruang.
Perencanaan Tata Ruang Kerap Terputus
Prof. Rumawan mengungkapkan perencanaan tata ruang di Bali kerap terputus akibat transisi cepat dari kota-kota tradisional menuju modernisasi pasca pembangunan Bali Beach Hotel dan Bandara Ngurah Rai. “Kita tidak siap bertransformasi dari tradisi ke modern. Akibatnya, jika tidak segera diperbaiki, beban ini akan diwarisi anak cucu kita dan risikonya akan lebih berat,” katanya.
Prof. Rumawan juga mengingatkan pentingnya perhitungan daya tampung air hujan dalam perencanaan tata ruang. Menurutnya, Bali selama ini gagal mengantisipasi kapasitas tampungan sehingga selalu kewalahan menghadapi curah hujan.
Ia menekankan perlunya zonasi yang jelas, termasuk kawasan yang harus dilindungi sebagai warisan budaya (heritage) yang selama ini justru menjadi salah satu daya tarik utama Bali di mata dunia. Menurutnya, ruang-ruang budaya harus dipelihara agar tetap memberi manfaat ekonomi sekaligus menjaga identitas Bali.
Kesalahan Pengaturan Tata Ruang
Ketua Panitia Khusus (Pansus) Tata Ruang, Aset, dan Perizinan (TRAP), I Made Supartha juga sepakat. Ia menyoroti bencana yang terjadi ini bukan semata-mata akibat curah hujan tinggi, melainkan karena kesalahan dalam pengaturan tata ruang.
“Curah hujan saya kira itu bukan alasan. Tapi sekarang yang menjadi pemikiran kita bagaimana menata ruangnya. Cara-cara subak dulu, kemudian drainasenya bagaimana, kemudian aliran air dari hulu sampai hilir itu kita fungsikan kembali secara baik,” ujarnya.
Ketua Fraksi PDIP DPRD Bali ini, menegaskan akan menindaklanjuti persoalan ini dengan merekomendasikan langkah konkret. Pascabanjir ini, pansus akan mengaktualisasikan dan merekomendasikan terkait pengaturan tata ruang, aplikasinya, juga mengenai izin-izinnya. Ia tidak ingin ke depan terjadi lagi banjir di Bali.
Terkait normalisasi saluran air dari hulu ke hilir, menurutnya ini menjadi hal mendesak agar sistem drainase mampu menampung debit air secara optimal saat musim hujan. Ia menyebut selain tata ruang, alih fungsi lahan juga menjadi salah satu faktor utama penyebab banjir. (Ketut Winata/balipost)