Bupati Badung, I Wayan Adi Arnawa. (BP/Istimewa)

Bupati MANGUPURA, BALIPOST.com – Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Badung semakin serius mengatasi krisis air bersih di wilayah Kuta Selatan, khususnya di Pecatu. Bupati Badung, I Wayan Adi Arnawa, menegaskan persoalan air akan tuntas pada Desember 2025 melalui berbagai upaya, mulai dari penambahan jaringan hingga penerapan teknologi pengolahan air laut.

“Terkait masalah air di Kuta Selatan, saya sudah berproses, mudah-mudahan akhir tahun ini air ke bukit lancar. Sebab, sekarang saya telah menambah jaringan yang sebelumnya air yang dibawa ke bukit dialirkan ke Nusa Dua dulu, sekarang sudah dipotong dibuatkan khusus ke Nusa Dua, dan jaringan yang ke Pecatu khusus,” ungkap Bupati Adi Arnawa pada Selasa (9/9).

Baca juga:  Persediaan di Cubang Mulai Habis, Warga Besakih Krisis Air Bersih

Selain membangun jaringan distribusi baru, Pemkab Badung juga tengah mempersiapkan solusi jangka panjang dengan menerapkan teknologi sea water reverse osmosis (SWRO). Teknologi ini akan mengolah air laut menjadi air minum guna memenuhi tingginya kebutuhan air di kawasan pariwisata Badung Selatan.

“Tidak cukup air permukaan, karena pembangunan masif. Namun, saya sudah perintahkan PDAM untuk SRWO, dimana air laut diubah menjadi air minum,” ujarnya.

Adi Arnawa menjelaskan, skema pemanfaatan SWRO akan diarahkan untuk mendukung akomodasi wisata seperti hotel, restoran, dan bandara. Sedangkan air permukaan tetap difokuskan memenuhi kebutuhan masyarakat. Dengan begitu, masyarakat tetap memperoleh akses air bersih dengan harga terjangkau.

Baca juga:  Dewan Inisiasi UMS di Bali

“Untuk memenuhi kebutuhan di Badung Selatan karena pembangunan masif, saya sudah perintahkan PDAM untuk segera melakukan diversifikasi air minum SRWO untuk memenuhi kebutuhan hotel dan bandara. Untuk air permukaan khusus untuk masyarakat karena harganya lebih murah,” jelasnya.

Ia menambahkan, rencana ini sekaligus membuka peluang penerapan sistem subsidi silang. Air permukaan tetap disalurkan ke rumah tangga dengan tarif terjangkau, sementara air hasil desalinasi dialokasikan untuk kebutuhan industri pariwisata.

“Dengan biaya pengolahan sekitar Rp30.000 per meter kubik, desalinasi lebih mahal dibandingkan sumber air permukaan. Namun, jika difokuskan untuk sektor komersial seperti hotel, bandara, dan restoran, maka beban tarif tidak akan memberatkan masyarakat,” katanya.

Baca juga:  Teknologi dan Pembelajaran Interaktif

Menurutnya, meski proses pengolahan air laut lebih mahal, ketersediaannya tidak terbatas. Hal ini dinilai penting untuk menjamin ketersediaan air jangka panjang seiring pesatnya pembangunan di Badung Selatan.

“Lebih baik kita berinvestasi sedikit lebih mahal daripada nantinya kekurangan air. Potensi Badung sangat besar, apalagi dengan pembangunan infrastruktur yang masif. Otomatis kebutuhan air akan terus meningkat, dan kita harus siap mengantisipasi,” ucapnya. (Parwata/balipost)

BAGIKAN