Seorang pengunjuk rasa mengenakan topeng saat aksi memperingati Hari Buruh Internasional di depan Gedung DPR, Senayan, Jakarta, Kamis (1/5/2025). Aksi yang diikuti sejumlah organisasi pekerja itu meminta pemerintah untuk meningkatkan kesejahteraan para buruh. (BP/Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah, serikat pekerja, serta pengusaha kembali bersiap menghadapi momen tahunan yang krusial yakni penetapan Upah Minimum Provinsi (UMP) untuk tahun 2026.

Isu ini menjadi perhatian karena berkaitan langsung dengan kesejahteraan pekerja sekaligus daya saing dunia usaha.

Dalam berbagai forum, mulai muncul usulan kenaikan UMP sebesar 10,5 persen untuk tahun 2026.

Namun pertanyaannya, apakah angka ini ideal? Dan apa saja komponen penentu UMP?

Penetapan UMP mengacu pada Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 51 Tahun 2023, yang merupakan revisi dari PP Nomor 36 Tahun 2021.

Ada beberapa komponen utama yang dijadikan dasar dalam penentuan UMP, yaitu:

1. Inflasi tahunan nasional

2. Petumbuhan ekonomi (PDB) nasional atau provinsi

Nilai α (alfa) – penyesuaian upah berdasarkan produktivitas dan perluasan kesempatan kerja, yang nilainya ditentukan antara 0,10 – 0,30 (10% – 30%).

Baca juga:  Serikat Pekerja Tolak Monitoring UMK

Rumus dasar perhitungannya:

UMPt+1 = UMPt + (UMPt × (inflasi + (pertumbuhan ekonomi × α). Dengan rumus ini, maka usulan kenaikan 10,5% bisa dilihat sebagai hasil proyeksi inflasi dan pertumbuhan ekonomi 2025, serta penyesuaian melalui nilai alfa.

Untuk menjawab apakah kenaikan 10,5% ideal atau tidak, perlu melihat perkiraan ekonomi 2025 yang menjadi dasar penetapan UMP 2026.

Berikut estimasi indikatif (per Agustus 2025):

Inflasi nasional: sekitar 3,2%

Pertumbuhan ekonomi (PDB) nasional: sekitar 5,2%

Alfa: diasumsikan 0,3 (maksimal)

Maka kenaikan UMP ideal secara hitung-hitungan yakni 3,2% + (5,2% × 0,3) = 3,2% + 1,56% = 4,76%.

Dengan perhitungan tersebut, kenaikan ideal secara normatif berdasarkan regulasi adalah sekitar 4,76%. Artinya, usulan 10,5% jauh di atas formula pemerintah.

Baca juga:  Kuasa Hukum Bantah Nadiem Makarim Masuk DPO Kasus Chromebook

Namun, pihak serikat pekerja sering mengusulkan kenaikan lebih tinggi dengan pertimbangan kenaikan biaya hidup, harga bahan pokok, dan kebutuhan riil pekerja yang tak selalu tercermin dari inflasi resmi.

Berikut data rata-rata kenaikan UMP nasional selama 5 tahun terakhir:

  • Tahun 2025 : ± 4,1% berdasarkan PP 51/2023
  • Tahun 2024 : ± 3,5%, mulai diberlakukan PP 51/2023
  • Tahun 2023 : ± 7,9%, penerapan formula PP 36/2021
  • Tahun 2022 : ± 1,1%, kenaikan minimal, banyak kritik
  • Tahun 2021 : ± 3,3%, dalam kondisi pandemi COVID-19

Nah jika usulan 10,5% disetujui, ini akan menjadi kenaikan tertinggi sejak 2016.

Ini juga menandakan kebijakan yang lebih pro-buruh, namun berpotensi menuai resistensi dari pelaku usaha terutama di sektor padat karya.

Baca juga:  Pemerintah Usulkan Perubahan Beberapa Substansi RKUHP

Dengan demikian perlu keseimbangan rasional. Di mana Usulan kenaikan UMP sebesar 10,5% mencerminkan aspirasi pekerja untuk perbaikan kesejahteraan yang lebih signifikan.

Namun secara regulatif, angka ini cukup jauh dari hasil formula pemerintah yang berkisar antara 4-5%.

Idealnya, kenaikan UMP mempertimbangkan aspek ekonomi makro, produktivitas tenaga kerja, dan kemampuan dunia usaha, agar tercipta keseimbangan antara kesejahteraan dan keberlanjutan bisnis.

Kemudian penentuan akhir akan kembali kepada keputusan gubernur masing-masing provinsi dengan mempertimbangkan rekomendasi dewan pengupahan.

Harapan ke depan, kebijakan UMP bukan hanya menjadi angka tahunan, tetapi menjadi instrumen nyata peningkatan kualitas hidup pekerja Indonesia. (Pramana Wijaya/balipost)

BAGIKAN