
SINGARAJA, BALIPOST.com – Wayang wong merupakan tradisi sakral dari Desa Tejakula yang diperkirakan telah ada sejak berabad-abad lalu, abad ke 16 dan 17 SM. Saat itu Raja Dalem Waturenggong sangat mengapresiasi sejumlah kesenian yang ada, termasuk Wayang Wong.
Kesenian ini begitu sakral, bahkan untuk membuat tapel dari lakon Wayang Wong harus melalui beberapa ritual.
Salah satunya mengubur kayu-kayu yang akan menjadi bahan tapel selama berpuluh-puluh tahun. Hal itu dilakukan agar dalam proses pembuatannya mendapatkan restu dari pertiwi.
Kayu-kayu yang digunakan sebagai tapel pun merupakan kayu pilihan, seperti Kayu Pule, Tawas, dan Banoe yang mungkin saat ini sudah jarang ditemui.
“Itu kenapa topeng-topeng Wayang Wong Tejakula sangat sakral. Proses yang dilalui juga ada ritualnya. Tetua kami mewariskan itu. Sehingga Ketika menari aura sakral dan magisnya begitu terasa,” ungkap Gede Komang, mantan Kepala Dinas Kebudayaan Kabupaten Buleleng yang memiliki trah atau waris penari Wayang Wong dari tetuanya terdahulu.
Ia mengungkapkan di antara sejumlah tapel Wayang Wong, tapel Kumbakarna merupakan yang terseram dan memiliki aura magis.
Sebagaimana diketahui, Kumbakarna merupakan adik dari Rahwana, sosok antagonis dalam Kekawin Ramayana. Kumbakarna sering terabaikan, meski memiliki peran begitu besar bagi Negeri Alengka.
Bukan Sekadar Sosok Seram
Ia bukan sekadar sosok seram, juga dikenal sebagai sosok yang gagah, kuat, rela berkorban dan siap maju berperang karena kesetiaannya pada Negeri Alengka.
Gede Komang yang kerap melakoni Kumbakarna menuturkan dalam lakon Wayang Wong khas Tejakula, gugurnya Kumbakarna dipentaskan saat kanda (bagian) terakhir, ketujuh.
Masyarakat yang penasaran dengan kisah Kumbakarna harus bersabar. Tidak sebulan, tidak setahun, tapi bisa menunggu hingga lima atau enam tahun.
Sebab, satu kanda bisa dipentaskan hingga dua tahun, tergantung pelaksanaan upakara di Desa Tejakula. Biasanya, kanda dalam cerita Ramayana bisa disaksikan di Pura Pemaksan, Pura Kahyangan Tiga, Pura Dangka, Pura Ratu Gede. Termasuk di Pura Sekar, Puru Pingit, Pura Dangin Carik hingga Pura Segara Desa Tejakula.
“Cerita ini tak tentu, tergantung piodalan (upacara). Ramayana paling cepat 5 tahun sampai kanda ketujuh. Itu pun kalau upacaranya sering. Terkadang dalam satu kanda bisa mencapai dua tahun,” imbuhnya.
Perjalanan Seni Wayang Wong
Seiring kemajuan zaman, perjalanan seni Wayang Wong tak semulus yang dibayangkan.
Setelah kemerdekaan Indonesia, seni ini mulai surut. Banyak panggung senyap. Namun tidak di Tejakula.
Di desa pesisir Kabupaten Buleleng ini, Wayang Wong tetap menari di pura maupun tempat komersial lainnya.
“Di Tejakula, Wayang Wong bukan sekadar tontonan. Ia adalah bagian dari upacara dan tradisi Masyarakat setempat. Inilah yang membuatnya tetap bertahan,” ujar Dr. Kadek Suartaya, S.Skar., M.Si., pemerhati seni sekaligus Dosen Institut Seni Indonesia (ISI) Denpasar.
Wayang Wong Tejakula memiliki gamelan yang khas karena iramanya keras, lugas, dan lebih cepat dibanding gaya di Bali Selatan. Kondisi itu, membuat Wayang Tejakula memiliki perbedaan yang signifikan dengan daerah lainnya. Termasuk dengan gerak tariannya.
“Gayanya enerjik, terutama peran kera. Penari di Tejakula itu sangat menghayati peran yang dimainkan,” kata Suartaya.
Dua Tipe Wayang Wong
Wayang Wong di Bali yang berkembang saat ini ada dua tipe, yakni menggunakan topeng yang kerap ditemukan di Tejakula dan tanpa menggunakan topeng, yang dapat ditemui di beberapa wilayah di Bali Selatan.
Meski secara struktural keduanya berbeda dan tidak secara formal berkolaborasi, dalam praktiknya ada irisan, mulai dari beberapa tokoh juga mengenakan tapel. Termasuk karakter pewayangan keduanya pun hampir mirip.
Namun, tak semua desa bisa mempertahankan pertunjukan ini. Saat ini, hanya tersisa beberapa wilayah yang masih memiliki Wayang Wong aktif, seperti Pujung, Tegallalang, Mas Ubud, Batuan, Sukawati, dan Blahkiuh.
Dari semua itu, Tejakula dinilai paling stabil, karena disakralkan oleh masyarakat adatnya.
“Yang disakralkan oleh krama akan bertahan. Yang tidak, biasanya hanya dipentaskan sesekali, tergantung momentum,” jelas Suartaya.
Salah satu cerita yang paling berkesan bagi Suartaya adalah Kumbakarna. Dalam pertunjukan, Kumbakarna sering diperankan oleh penari bertubuh besar dengan tapel berwarna merah.
Meski tampak lugu, ia memancarkan wibawa sebagai raja yang menjunjung kebenaran. Adegan ketika Kumbakarna dikeroyok ribuan kera dalam pertempuran besar menjadi simbol kuat tentang bagaimana nilai-nilai kebenaran harus diperjuangkan meski harus menghadapi tantangan besar.
Berdasarkan penelitian Prof. Dr. I Made Bandem, MA pada 1977, sejumlah tapel utama Wayang Wong, seperti Rama, Laksamana, Sugriwa, dan Rahwana diyakini merupakan hadiah dari Raja Bangli pada akhir abad ke-19. Sisanya dibuat langsung oleh seniman-seniman Tejakula.
Pertunjukan Wayang Wong ini selalu membawakan lakon Ramayana versi kakawin Bali yang terdiri dari 26 bagian, dengan pakem yang lengkap, dialog berbahasa Kawi, serta perpaduan adegan halus, keras, humor, hingga peperangan.
“Wayang Wong Tejakula bukan hanya tontonan, tapi juga bagian dari upacara sakral. Pementasan rutin digelar setiap enam bulan sekali pada hari Manis Galungan dan Pahing Galungan,” ujar Prof Bandem. (Nyoman Yudha/balipost)