
DENPASAR, BALIPOST.com – Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Udayana (BEM Unud) mengirimkam surat terbuka kepada Gubernur Bali Wayan Koster.
Surat Terbuka bernomor: 170/C/BEM-UNUD/VIII/2025 tentang tanggapan terhadap pola komunikasi Gubernur Bali dan permasalahan sampah di Provinsi Bali ini dikirim langsung oleh Ketua BEM Unud I Wayan Arma Surya Darmaputra ke Kantor Sekretariat Daerah Provinsi Bali, Kamis (7/8).
BEM Unud dalam suratnya meminta pemerintah melalui Gubernur Bali agar segera menemukan solusi akan permasalahan sampah di Bali. Di mana, beberapa fasilitas pengolahan sampah seperti TPST Kesiman Kertalangu dan TPST Tahura Ngurah Rai yang tidak beroprasi efektif harus menjadi perhatian pemerintah untuk segera ditindaklanjuti.
Agar tidak terkesan pemerintah hanya menerbitkan regulasi tanpa diimbangi fasilitas pendukung. Dalam Surat Terbuka tersebut tertulis BEM Unud sebagai bagian dari insan intelektual dan moral masyarakat Bali, merasa memiliki tanggung jawab untuk menyampaikan keprihatinan yang sangat mendalam terhadap semakin memburuknya kondisi pengelolaan sampah di Provinsi Bali saat ini.
Permasalahan yang terjadi bukan hanya persoalan administratif atau teknis semata seperti belum optimalnya sistem pengangkutan, keterbatasan kapasitas tempat pembuangan akhir (TPA), kurangnya optimal TPST & TPS3R atau lemahnya pelaksanaan regulasi melainkan telah mencerminkan adanya krisis yang lebih serius dalam aspek tata kelola pemerintahan serta pola komunikasi publik yang seharusnya menjadi fondasi transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas dalam menangani isu-isu lingkungan yang berdampak langsung terhadap kualitas hidup masyarakat dan keberlanjutan pulau Bali ke depan.
Mereka menilai bahwa Peraturan Daerah (Perda) maupun Peraturan Gubernur (Pegub) terkait pengelolaan sampah belum diimplementasikan secara menyeluruh dan konsisten. Misalnya, Pergub Bali Nomor 47 Tahun 2019 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Sumber belum mampu mengatur dengan tegas mengenai pembagian peran antara pemerintah provinsi, kabupaten/kota, desa adat, serta masyarakat.
Seharusnya ada kejelasan struktur kewenangan dan tanggung jawab mengenai siapa yang mengelola sampah rumah tangga, siapa yang bertugas mengangkut, serta bagaimana sampah dipilah dan dikontrol mulai dari sumber hingga pengolahan akhir.
Sampai saat ini, publik tidak diberi informasi yang matang dan memadai tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh masuk ke TPA, bagaimana mekanisme pemilahan di TPS3R, dan seperti apa proses daur ulang yang dijalankan sehingga kebijakan terasa abstrak dan tidak membumi.
Selain itu, mereka juga menyoroti 2 Surat Edaran (SE) yang telah terbit namun hingga saat ini masih belum tersampaikan dengan baik. Seperti, SE Gubernur Bali Nomor 2 Tahun 2025 yang mewajibkan seluruh pegawai, perangkat daerah, BUMD, dan sekolah menggunakan tumbler dan larangan penggunaan kemasan plastik di lingkungan kantor pemerintah dan sekolah mulai 3 Februari 2025, serta SE Gubernur Bali Nomor 09 Tahun 2025 tentang Gerakan Bali Bersih Sampah, sebagai penguatan implementasi Perda dan Pergub mengenai pengelolaan sampah.
Untuk itu, BEM Unud mendorong penerapan sistem pengangkutan sampah yang terjadwal dan berbasis jenis, agar proses pemilahan menjadi nyata dan terukur sebagaimana yang telah diterapkan pada Kabupaten Gianyar. Sebagaimana diatur pada Peraturan Bupati Gianyar Nomor 76 Tahun 2023 tentang Pengelolaan Sampah Berbasis Kearifan Lokal, pengambilan sampah untuk masyarakat dikelola berbasis jadwal dengan hari Senin untuk sampah organik, Selasa untuk anorganik, Rabu untuk sampah residu, dan seterusnya.
Pola ini sudah diterapkan di banyak kota dunia dan terbukti berhasil menurunkan timbulan sampah yang masuk ke TPA. Bila tidak dibarengi sistem yang terstruktur dari hulu ke hilir, maka upaya edukasi masyarakat hanya akan menjadi jargon tanpa substansi. Jadwal tetap pengangkutan juga membantu TPS3R dan TPST untuk mengatur beban kerja serta memproses sampah secara efisien dan higienis.
Selain itu, BEM Unud juga menyoroti kondisi TPST Kesiman Kertalangu dan TPA Suwung yang selama ini menjadi andalan pengelolaan sampah di Bali, khususnya Kota Denpasar dan wilayah sekitarnya, menunjukkan sejumlah ketidakmaksimalan yang cukup signifikan, yang menimbulkan ironi besar dalam pengelolaan sampah daerah yang kerap jadi sorotan. TPST Kesiman Kertalangu sebagai salah satu fasilitas pengolahan sampah terpadu yang diharapkan menjadi solusi utama,ternyata hanya beroperasi dengan kapasitas jauh dibawah kebutuhan riil masyarakat.
Misalnya, dari rencana kapasitas pengolahan di TPST Kesiman Kertalangu yang dirancang mampu mengolah hingga 450 ton per hari, saat ini nyata hanya mampu mengelola sekitar 290 ton per hari saja, bahkan kapasitas optimal keseluruhan TPST di Denpasar masih jauh dari target kebutuhan, seperti di Kesiman Kertalangu dan wilayah lain sekitar Denpasar.
Hal ini menyebabkan sebagian besar sampah yang dihasilkan, yang mencapai sekitar 1.000 ton per hari di Kota Denpasar, tidak terkelola dengan baik dan menumpuk tanpa solusi efektif. Proses
pengolahan sampah di TPST Kesiman Kertalangu juga tidak berjalan optimal.
Sehingga, pengolahan menjadi sulit dan menghasilkan bau yang mengganggu warga sekitar. Munculnya bau busuk di sekitar TPST menjadi masalah besar bagi masyarakat, dengan beberapa warga mengaku terganggu kesehatannya akibat polusi bau tersebut.
Teknologi pengolahan di TPST juga belum cukup canggih untuk mengatasi seluruh jenis sampah yang masuk, dan penyesuaian terhadap kebutuhan pasar terhadap produk olahan seperti Refuse Derived Fuel (RDF) menjadi tantangan tersendiri.
Pascapenutupan TPA Suwung di Denpasar, yang merupakan TPA terbesar dan andalan sejak lama, belum tersedia fasilitas pengganti yang setara dan memadai untuk menyerap beban sampah dari wilayah selatan Bali secara keseluruhan. Tidak adanya alternatif yang cukup ini menyebabkan penumpukan sampah dan terbatasnya kapasitas pengelolaan sampah terpadu, yang menunjukkan kurangnya perencanaan jangka panjang serta kesiapan dalam merespons krisis pengelolaan limbah besar di Bali.
Permasalahan ini juga dipengaruhi oleh tata kelola infrastruktur yang kurang adaptif dan kurang melibatkan partisipasi masyarakat secara kuat. Ketidakikutsertaan masyarakat dalam tahap perencanaan TPST serta rendahnya pengawasan pengelolaan sampah dari sumber mengakibatkan kurangnya kebersamaan dan kesadaran dalam proses pengelolaan, sehingga menimbulkan konflik sosial dan kritik dari warga sekitar.
Secara keseluruhan, permasalahan ini menjadi gambaran nyata bahwa pengelolaan infrastruktur pengelolaan sampah di Bali, khususnya di wilayah Denpasar dan sekitarnya, masih jauh dari ideal.
Beban sampah yang mencapai lebih dari 1 juta ton per tahun di Bali sangat berat untuk ditangani dengan kapasitas dan teknologi fasilitas yang ada saat ini. Hal ini mengindikasikan perlunya perencanaan strategis jangka panjang, investasi teknologi pengolahan yang lebih maju, serta pendekatan pengelolaan yang lebih menyeluruh danmelibatkan partisipasi aktif masyarakat agar pengelolaan sampah di Bali mampu mengantisipasi lonjakan volume dan dampak lingkungan kedepannya.
Dalam konteks ini, TPST Biaung dan TPA Suwung yang selama ini menjadi ikon pengelolaan harus ditingkatkan kapasitas, teknologi, dan tata kelolanya, atau disiapkan alternatif baru yang lebih berkelanjutan, efisien, dan ramah lingkungan. Tanpa itu, situasi pengelolaan sampah akan terus menjadi beban dan sumber masalah bagi masyarakat serta lingkungan Bali yang menjadi destinasi wisata internasional penting.
Selain itu, dikatakan BEM Unud menuntut agar regulasi-regulasi dan tata kelola terkait pengelolaan sampah benar-benar diterapkan secara teknis dan tidak berhenti di atas kertas. Infrastruktur harus diperkuat, pengangkutan harus terjadwal, dan partisipasi masyarakat harus dibangun dengan komunikasi yang sehat dan responsif.
“Kami percaya bahwa dengan kepemimpinan yang terbuka dan bertanggung jawab, serta pendekatan yang berorientasi pada sistem dan keberlanjutan, Bali bisa keluar dari krisis ini dan
menjadi contoh nasional dalam pengelolaan sampah. Namun semua itu harus dimulai dengan kemauan untuk mendengar dan memperbaiki pola komunikasi yang selama ini menjadi titik lemah kepemimpinan,” pungkasnya. (Ketut Winata/balipost)