
DENPASAR, BALIPOST.com – Pemerintah Provinsi Bali akan segera membangun teknologi pengolahan sampah menjadi energi listrik (PSEL) berbasis waste to energy (WtE). Teknologi ini dibangun setelah mendapat dukungan anggaran dari Pemerintah Pusat melalui Danantara.
Gubernur Bali, Wayan Koster menegaskan bahwa PSEL akan mulai dibangun tahun 2026 dan ditargetkan selesai pada akhir tahun 2027. “Astungkara 2026, proses konstruksi (PSEL,red) mulai berjalan. Sehingga harapannya 2027 akhir, programnya sudah selesai. Tahun 2028 sudah on pelaksanaan pengelolaan sampah menjadi energi listrik,” ujar Gubernur Koster disela-sela pengarahannya terkait Penilaian Proper 2025 dan Optimalisasi Pungutan Wisatawan Asing, di Gedung Ksirarnawa, Taman Budaya Provinsi Bali, Kamis (30/10).
Koster mengatakan bahwa masalah sampah di Bali sudah mendapat perhatian dari pemerintah pusat. Di mana, sebagian sampah di Kota Denpasar dan Badung akan diolah menjadi sumber listrik dengan WtE. Sedangkan, sebagian sampah di kedua wilayah ini akan tetap dikelola dengan berbasis sumber.
Terkait program ini, dikatakan Pemerintah Provinsi Bali hanya diminta untuk menyiapkan lahan untuk membangun PSEL. Dan lahannya sudah disiapkan di kawasan Pelindo seluas 6 hektar.
“Pemerintah daerah diminta menyiapkan lahan 5 hektare. Astungkara kita sudah dapat lahan 6 hektare, bekerjasama dengan Pelindo. Kemudian diminta untuk menyiapkan volume sampah minimum 1.000 ton per hari. Ini juga sudah komit, dokumen-dokumen lain yang dikeluarkan kita sudah siapkan,” ungkapnya.
Koster menegaskan bahwa dibandingkan daerah lain seperti DKI Jakarta, Jogja dan daerah lainnya, Bali paling siap untuk menerima program pengelolaan sampah menjadi energi listrik ini. Ada Bali, ada DKI, ada Jogja. “Bali sudah paling siap,” tegasnya.
Koster mengungkapkan alasan kenapa program PSEL ini baru bisa berjalan saat ini, dikarenakan Peraturan Presiden (Perpres) yang lama telah diubah tahun ini. Perpres yang lama mengatur harga listrik yang dihasilkan PSEL harganya hanya 13,5 cen per KWH. PLN tidak sanggup membeli karena rugi. Sehingga, investor tidak ada yang mau membangun PSEL ini.
“Jadi begini, yang mengatur ini (PSEL,red) adalah Perpres, Peraturan Presiden. Listrik yang dihasilkan dari pengelolaan sampah ini, dalam Pepres diatur harganya 13,5 sen per KWH, harus dibeli oleh PLN. PLN ternyata tidak sanggup karena rugi. Dan karena PLN tidak mau beli, maka investor nggak ada yang mau. Karena listrik tidak akan diambil oleh PLN,” ungkap Koster.
Namun, saat ini Presiden telah mengeluarkan Perpres baru terkait PSEL. Yaitu, Perpres Nomor 109 Tahun 2025 tentang Penanganan Sampah Perkotaan Melalui Pengolahan Sampah Menjadi Energi Terbarukan Berbasis Teknologi Ramah Lingkungan. “Karena itulah sekarang oleh Bapak Presiden, diubah Perpresnya. Perpresnya sudah baru sekarang, harganya berubah dari 13,5 sen per KWH menjadi 20 sen per KWH.
Maka sekarang investornya banyak sekali berminat. Tiang (saya,red) minta (investor,red) silakan berproses di pusat di Danantara, karena ini bukan proses di daerah,” ujarnya.
Dengan harga terbaru ini, Koster mengungkapkan PLN sudah sanggup untuk membeli energi listrik yang dihasilkan dari PSEL ini. “Jadi PLN pun sudah sanggup. Nah, sisa dari 13,5 sen ke 20 sen itu ditalangi oleh Danantara. Dengan demikian, maka pemerintah daerah tidak kena beban membayar tiping fee. Jadi ini dibiayai oleh Danantara. Kita hanya menyiapkan lahan dan volume sampah, dan pengangkutan sampah dari wilayah tertentu ke tempat pengolahan sampah di daerah kawasan PSEL,” pungkas Koster. (Ketut Winata/balipost)










