Ilustrasi. (BP/Antara)

DENPASAR, BALIPOST.com – Masyarakat masa kini terlena dengan rupa cantik dari beras premium. Padahal beras bekatul (yang masih ada kulit lapisan luar) nilai gizinya tak kalah tinggi dengan beras premium.

Akademisi Pertanian Universitas Udayana Prof. I Gusti Agung Ayu Ambarawati, Kamis (17/7) mengakui ada dua perspektif tentang beras. Di satu sisi, masyarakat ingin beras yang putih, bersih, bulir utuh, derajat sosoh tinggi, kadar air maksimal 14 persen, yang digolongkan ke dalam beras premium. Namun di sisi lain ada kandungan nilai gizi tinggi dari beras buruk rupa, seperti beras bekatul yang masih memiliki lapisan kulit.

Baca juga:  Hektaran Padi di Subak Bekutel Rebah, Produksi Beras Turun

“Beras premium diperuntukkan untuk segmentasi pasar atau konsumen yang mau dan mampu membayar lebih tinggi karena kualitas premium dengan persyaratan tertentu di-treatment dengan cara yang beda, karena konsumen menginginkan beras yang putih, mulus,” ujarnya.

Kualitas beras yang bagus bagi konsumen kerap dinilai dari rupanya. Namun, masyarakat zaman dulu memanfaatkan beras bekatul dengan pertimbangan ketahanan pangan.

“Dulu dimanfaatkan karena ada nilai gizinya pada lapisan luar dari beras bahkan tinggi. Ini terlupakan karena masyarakat terlena dengan adanya beras yang dikemas, tidak ada beras bekatul karena sudah ada beras medium, premium,” ujarnya.

Baca juga:  Logistik Pilkada Karangasem Mulai Berdatangan

Sementara beras medium jika rusak sedikit saja sudah diabaikan padahal masih bisa dimanfaatkan. Apalagi jika konsumen diberikan beras bekatul mungkin akan memandang sebelah mata padahal nilai gizinya tinggi. “Jika kulit arinya dihilangkan maka gizinya pun bisa berkurang,” imbuhnya

Ia menyarankan agar pemerintah tidak mengabaikan beras lainnya. Seperti beras bekatul yang memiliki potensi pasar untuk masyarakat yang ingin hidup sehat, sekaligus dapat memperkuat ketahanan pangan.

Baca juga:  Beras Bantuan Kemensos Tuai Keluhan Warga

Terkait peredaran beras oplosan, diakuinya memang merugikan konsumen dari sisi nilai ekonomi karena masyarakat membayar seharga kualitas premium namun yang didapatkan justru campuran dengan medium. Tapi, secara nilai gizi bisa jadi sama meski pun kandungannya harus dicek kembali oleh instansi yang berwenang. (Citta Maya/balipost)

BAGIKAN