
DENPASAR, BALIPOST.com – Bali kini tengah fokus pada pengendalian sampah plastik sekali pakai. Bahkan, ada kebijakan larangan produksi air minum dalam kemasan (AMDK) di bawah 1 liter. Namun kebijakan yang diterapkan ini dinilai tidak adil. Karena, sampah plastik sachet masih banyak dipergunakan dalam dunia usaha.
Terkait hal ini, Wakil Gubernur Bali, I Nyoman Giri Prasta, menyatakan dukungannya terhadap kebijakan pelarangan penggunaan AMDK plastik berukuran di bawah 1 liter sebagai bagian dari upaya menjaga kebersihan lingkungan Pulau Dewata.
Namun, ia juga menyoroti pentingnya kajian menyeluruh terhadap jenis-jenis sampah plastik lain seperti kemasan sachet, yang menurut banyak pihak justru lebih sulit diuraikan.
Dikatakan, kebijakan terkait pelarangan plastik sachet ini perlu dilakukan kajian. “Kami sudah melakukan sebuah kajian dulu terhadap saset yang kecil-kecil ini. Apakah itu memang diputuskan di tahun ini atau nanti diputuskan di tahun depan,” ujar Giri Prasta, di Kantor Gubernur Bali, Selasa (15/7).
Giri Prasta mengakui bahwa kebijakan pembatasan AMDK plastik ukuran kecil menuai protes dari sejumlah pelaku usaha lokal, termasuk industri air minum lokal di Bali, yang menilai kebijakan tersebut diskriminatif jika tidak diikuti dengan pelarangan menyeluruh terhadap semua jenis kemasan plastik. Seperti, produk makanan, minuman sachet, hingga barang konsumsi rumah tangga lainnya yang juga menghasilkan limbah plastik.
Giri Prasta menyebut bahwa isu sampah plastik tidak bisa dilihat secara parsial. Menurutnya, langkah awal Pemprov Bali yang membatasi AMDK ukuran kecil merupakan bagian dari visi jangka panjang untuk menjadikan Bali sebagai pulau yang bersih dan hijau.
“Kita berbicara dulu tentang plastik yang minuman plastik yang 1 liter ke bawah. Dan ini sudah didukung penuh, didukung penuh. Ada hanya satu dari Danone. Dari Danone ini beliau meminta 2 tahun karena sudah beredar banyak. Itu ada pemakluman. Itu yang dimaksud gubernur,” terangnya.
Menurut Giri, Gubernur Bali Wayan Koster mengambil pendekatan yang bijak dalam menetapkan kebijakan tersebut, dengan tetap mempertimbangkan kondisi dan kesiapan pelaku usaha, termasuk memberi ruang waktu transisi bagi produsen besar seperti Danone.
“Pak Dr. Wayan Koster, beliau kan bijak dalam hal ini. Artinya apa? Bagaimana kita ke depan melihat anak cucu Bali clean and green. Saya kira itu,” ucapnya.
Meski kebijakan larangan untuk jenis kemasan plastik lainnya seperti plastik sachet belum diberlakukan, Giri Prasta menyatakan bahwa pembahasan sudah dilakukan dan keputusan akan diambil pada waktunya.
Sebelumnya, Ketua Fraksi Partai Gerindra-PSI DPRD Provinsi Bali, I Gede Harja Astawa meminta Pemprov Bali menerbitkan imbauan yang tidak tebang pilih dalam penanganan sampah. Ia menilai bahwa penggunaan kemasan plastik tidak hanya dipakai oleh air kemasan saja tetapi dalam banyak produk pangan dan non-pangan lainnya. Artinya, pelarangan harus bersifat holistik dan tidak menyasar pada satu kemasan plastik saja.
Dia menegaskan bahwa sampah plastik yang ada di Bali tidak hanya disebabkan oleh tumpukan limbah air kemasan semata. Dia mengatakan, apabila pelarangan tersebut dilakukan secara parsial maka akan menimbulkan kecemburuan.
Pelaku usaha AMDK, Nyoman Arta Widnyana juga meminta Pemprov Bali agar berpikir holistik dalam menangani sampah. Menurutnya, pelarangan seharusnya juga menyasar semua dagangan di minimarket yang berbungkus plastik tidak boleh agar terasa adil.
Ia mengutip data Sungai Watch terkait sampah di Bali dan Banyuwangi yang menyebutkan bahwa limbah air kemasan botol PET hanya 4,4 persen. Sampah lainnya, kemasan sachet 5,5 persen, kantong plastik 15,2 persen dan plastik bening 16,2 persen. Berdasarkan jenis produk, sampah di Bali juga berasal dari tetrapack (19.254 item), kemasan cup minuman berperisa (17.274 item) dan hard plastik (17.207 item). (Ketut Winata/balipost)