
MANGUPURA, BALIPOST.com – Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) menghantui sektor pariwisata di Kabupaten Badung. Berdasarkan data yang terhimpun, setidaknya terdapat 117 tenaga kerja (naker) yang kena PHK selama Januari hingga Mei 2025.
Angka tersebut dari data Dinas Perindustrian dan Tenaga Kerja (Disperinaker) Kabupaten Badung.
Namun, Kepala Disperinaker Badung, Putu Eka Merthawan, mengungkapkan bahwa angka sebenarnya bisa jauh lebih tinggi dari yang tercatat secara administratif.
“Itu hanya yang melapor resmi ke kami. Tapi dari data BPJS, jumlahnya sudah melampaui itu. Artinya, ada indikasi PHK yang tidak tercatat secara formal,” jelas Eka Merthawan ketika ditemui, Jumat (13/6).
PHK tersebut paling banyak terjadi pada sektor akomodasi dan restoran, khususnya di kawasan pariwisata padat seperti Kuta, Kuta Utara, hingga Kuta Selatan. Ironisnya, PHK justru terjadi di tengah meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan.
Penyebab utama PHK, lanjut Eka Merthawan, bersumber dari efisiensi yang diberlakukan pemerintah. Akibatnya, banyak pengusaha hotel dan restoran skala menengah ke bawah yang kesulitan bertahan karena turunnya okupansi dan tingkat konsumsi wisatawan.
“Berdasarkan dari laporan komponen pariwisata yang menyampaikan laporan ke kami, kenapa mereka (pengusaha – red) melakukan PHK, pertama pendapatan mereka berkurang. Ini akibat produksi tidak jalan lantaran pengunjung sedikit, dan adanya efisiensi dari pusat,” jelasnya.
Kebijakan Pembatasan Study Tour
Kondisi ini diperparah dengan kebijakan pembatasan studi tour oleh pemerintah daerah yang mengurangi jumlah kunjungan wisatawan domestik secara signifikan. Terlebih, kedatangan wisatawan asing yang datang bukan sebagai wisatawan, melainkan menjadi pekerja.
“Wisatawan memang datang, tapi tidak tinggal di akomodasi resmi. Banyak yang memilih penginapan non formal atau datang sebagai pekerja ilegal,” katanya.
Fenomena tersebut menciptakan tantangan tersendiri bagi keberlangsungan sektor pariwisata yang menjadi tulang punggung perekonomian Badung.
Data menunjukkan bahwa banyak wisatawan asing yang masuk ke Bali bukan untuk berlibur, melainkan untuk bekerja tanpa izin, mengambil ceruk ekonomi dari warga lokal yang seharusnya menjadi penerima manfaat utama dari industri pariwisata.
“Kalau turis tidak menginap, produksi hotel tidak jalan. Kalau produksi tidak jalan, pendapatan tidak ada. Akhirnya pekerja yang jadi korban,” tegasnya. (Parwata/balipost)