Krama Desa Adat Sambirenteng ketika mengkuti tradisi ngerebeg beberapa waktu lalu. (BP/Istimewa)

SINGARAJA, BALIPOST.com – Desa Adat Sambirenteng, Kecamatan Tejakula, Buleleng hingga kini masih terus melestarikan tradisi ngerebeg. Tradisi ini biasanya dilaksanakan setiap Tilem Kaulu yang dipusatkan di perempatan desa setempat. Tradisi ini diyakini untuk menetralisir alam semesta beserta isinya.

Kelian Desa Adat Sambirenteng, Nengah Mas, pada Kamis (12/6) mengatakan, keberadaan tradisi ini sejatinya sudah ada sejak dulu kala. Cikal bakal tradisi ini muncul lantaran kawasan Desa Sambirenteng tertimpa musibah. Kondisi itu mengharuskan pihak desa bersama prajuru meminta petunjuk ke Sesuhunan terkait penyebab musibah tersebut.

Baca juga:  Desa Adat Tanjung Benoa Dorong Percepatan Pembangunan Jalan Pantai Barat

Hasilnya, pihak Desa Adat Sambirenteng diwajibkan melaksanakan upacara ngerebeg setiap satu tahun sekali, yakni sebelum pelaksaan Tawur Agung Kasanga, tepatnya pada Tilem Kaulu. “Awalnya tradisi ini digelar karena desa dilanda bencana. Banyak warga jatuh sakit, bahkan konflik muncul di antara krama. Pemimpin desa kemudian memohon petunjuk ke Ida Bhatara, dan mendapat pawisik agar mengadakan Ngerebeg,” jelas Nengah Mas.

Menurutnya, istilah ngerebeg berasal dari kata ‘ngebeg’, yang berarti pembersihan. Ritual ini menjadi media untuk menetralkan energi negatif yang dipicu oleh kehadiran bhutakala. Ia juga menyebut ngerebeg bukan sekadar upacara adat. Ini adalah wujud nyata menjaga keseimbangan antara manusia, alam, dan semesta beserta isinya.

Baca juga:  Keluarga Puri Kanginan Tuntut Disbud Buleleng Buat Tempat Parkir Baru

Rangkaian ritual dimulai dari pusat desa, yakni di Catus Pata, tempat caru atau persembahan dihaturkan. Caru biasanya berupa sapi betina muda atau babi, disertai dengan pangkonan sebagai perlengkapan sesaji. Upacara kemudian dipimpin oleh pemangku, yang memohon restu kepada Ida Bhatara Pingit yang berstana di Pura Makolem, kawasan hutan suci Alas Metaum.

Setelah caru dihaturkan, sesajen dibiarkan selama sekitar 15 menit. Kemudian, prosesi dilanjutkan dengan tahapan nyomia bhutakala.

Baca juga:  Desa Adat Peguyangan Gelar Mapandes Massal

Masyarakat dari berbagai usia membagi diri menjadi dua barisan besar. Mereka membawa obor dan berjalan mengelilingi desa sebanyak tiga kali, dari Catus Pata ke arah timur atau barat, memutar ke arah selatan, lalu kembali ke titik awal. “Ini wujud nyata Tri Hita Karana di desa kami, khususnya pada aspek palemahan, bagaimana kami menjaga keharmonisan antara manusia dengan alam,” tutupnya. (Nyoman Yudha/balipost)

BAGIKAN