
DENPASAR, BALIPOST.com – Rencana DPRD Bali membuatkan Peraturan Daerah (Perda) untuk menekan kriminalitas di Bali mendapat tanggapan kalangan akademisi. Jangan sampai perda yang dibuat nanti tumpang tindih dengan peraturan nasional. Pemerintah daerah dapat berpartipasi melalui penguatan lembaga sosial di masyarakat Bali, salah satunya desa adat.
Demikian disampaikan Akademisi Hukum Fakultas Pascasarjana Universitas Warmadewa (Unwar), Dr. I Wayan Rideng, S.H., M.H., dan Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Ngurah Rai (UNR) Denpasar, Dr. I Gede Wirata, S.Sos., S.H., MAP.
Rideng mengatakan saat pemerintahan periode pertama Gubernur Bali Wayan Koster telah memperkenalkan Sipandu beradat (Sistem Pengamanan Terpadu Berbasis Hukum Adat) sebagai amanat dari keberlakuan Perda Bali No.4/1999 tentang Desa Adat di Bali.
“Model keamanan ini dilontarkan untuk menjawab tantangan industri pariwisata Bali, karena tidak memiliki sumber daya alam seperti daerah lainnya, akan tetapi hanya mengandalkan adat istiadat, tradisi dan budaya. Tentu ini akan menjadi incaran wisatawan baik lokal dan manca negara,” ujar Wayan Rideng, Minggu (2/3). Pihaknya pun mempertanyakan urgensi penanganan keamaman melalui produk hukum daerah berupa Perda. Mengingat persoalan keamanan bukan menjadi kewenangan Pemda.
Sementara Wirata berpendapat bahwa Perda keamanan jika dirancang dengan baik dapat menjadi instrumen efektif menekan kriminalitas di Bali. Namun, perlu ada kajian akademik dan diskusi melibatkan pemangku kepentingan agar tidak menjadi kebijakan reaktif, melainkan solusi jangka panjang yang komprehensif.
“Perda tidak boleh tumpang tindih dengan peraturan nasional yang sudah ada, seperti KUHP dan UU Kepolisian. Mengingat banyak kasus kriminalitas di Bali melibatkan WNA, Perda bisa mengatur mekanisme pengawasan yang lebih ketat terhadap keberadaan dan aktivitas warga asing, bekerja sama dengan imigrasi dan aparat keamanan. Perda yang dibuat agar bisa mengakomodasi kebijakan ekonomi dan sosial, seperti program pemberdayaan pemuda dan pengangguran guna mengurangi potensi tindakan kriminal,” tandasnya.
Rideng mengungkapkan berbagai bentuk kriminalitas acap kali menimpa para wisatawan saat liburan di Bali. Seperti, pencurian dan pemerasan, penganiayaan, pengeroyokan, pemerkosaan, hingga pembunuhan. Begitu juga pelanggaran dan tindakan kriminal yang kerap dilakukan wisatawan.
Menurutnya, faktor utama yang cenderung menimbulkan perilaku kriminal yaitu karena nafsu dan emosi yang tidak terkendali, faktor ekonomi (kemiskinan), dan rendahnya standar nilai-nilai sosial masyarakat. Oleh karena itu, untuk meminimalis angka kriminalitas perlu penanganan secara komprehensif.
Wayan Rideng mengatakan keberadaan Polisi yang salah satu fungsi menjaga kamtibmas tentunya tidak secara optimal mampu mengatasinya, bilamana tanpa pelibatan lembaga dan merancang model penanganan. Bali yang mengandalkan sektor pariwisata, sebagai lumbung pendapatan idealnya perlu penanganan dari stakeholder. Tidak terkecuali pelibatan desa adat termasuk perangkat di dalamnya.
Rideng berpesan, semakin masifnya kriminalitas di Bali karena imbas industri pariwisata, model penangananya perlu dilakukan secara hati-hati. Mengingat industri pariwisata sangat sensitif. Solusi yang ditawarkan agar memberdayakan terhadap kelembagaan yang ada, baik formal dan informal. “Tingkatkan kapasitas SDM kelembagaan bagian yang ada di dalamnya,” pesannya.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik dari Universitas Ngurah Rai (UNR) Denpasar, Dr. I Gede Wirata, S.Sos., S.H., MAP., berpandangan pendekatan yang menyeluruh dan kolaboratif antara pemerintah daerah, aparat penegak hukum, desa adat, dan masyarakat umum menjadi kunci dalam mengatasi persoalan kriminalitas di Bali. Jika tidak segera ditangani dengan serius, peningkatan kriminalitas dapat merusak citra pariwisata Bali serta berdampak negatif terhadap kesejahteraan masyarakat. Seperti, meningkatkan patroli keamanan (terutama di kawasan wisata dan daerah rawan kejahatan) dan memanfaatkan teknologi seperti CCTV, sistem pemantauan melalui kipem agar digalakkan kembali bekerja sama dengan desa adat memalui pecalang, dan aplikasi pelaporan masyarakat untuk meningkatkan respons terhadap kejahatan.
Di samping juga meningkatkan sinergi antara kepolisian, pecalang (keamanan adat), serta pihak swasta seperti pengelola hotel dan restoran. Mengembangkan program “siskamling digital” yang memungkinkan warga berpartisipasi dalam pengawasan lingkungan mereka. Menegakkan hukum secara tegas dan transparan tanpa pandang bulu, termasuk terhadap kejahatan yang melibatkan WNA. Mengajukan kebijakan khusus bagi Bali sebagai daerah wisata internasional, misalnya regulasi ketat terhadap WNA yang tinggal lama atau bekerja ilegal di Bali. (Ketut Winata/balipost)