I Ketut Kariyasa Adnyana. (BP/Istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com – Bali kini berada di peringkat 7 nasional terkait jumlah kasus positif COVID-19. Hingga Minggu (12/4), akumulatif kasus positif yang terkonfirmasi mencapai 81 kasus.

Dengan adanya penambahan kasus ini, Pemprov Bali lewat Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 diharapkan lebih mengoptimalkan uji swab dengan metode PCR. Sebab, PCR dinilai akurat untuk menguji infeksi virus corona ketimbang hanya lewat rapid test. “PCR ini harus dimaksimalkan oleh Gugus Tugas, karena dengan lebih banyak yang dites, sehingga lebih cepat nanti diketahui yang positif dan negatif,” ujar Anggota Komisi IX DPR RI Dapil Bali, I Ketut Kariyasa Adnyana disela-sela menyerahkan bantuan 75 APD dan 20 liter hand sanitizer di RSUD Wangaya, Denpasar, Senin (13/4).

Kariyasa mengupayakan agar Bali mendapatkan satu unit alat PCR dari Swiss yang lebih valid dan bisa menguji 10 ribu sampel per hari. Dengan demikian, uji swab bisa dilakukan terhadap lebih banyak orang.

Baca juga:  Daerah Ini, Jadi Penyumbang Terbanyak Kasus COVID-19 Baru dan Pasien Sembuh

Terutama yang perlu diwaspadai adalah Orang Tanpa Gejala (OTG) karena bisa berbahaya menyebarkan COVID-19. Seperti yang terjadi di Italia dan Amerika Serikat, ledakan penyebaran karena awalnya dari OTG yakni generasi muda umur 30-40 tahun. “Mereka merasa tidak menunjukkan gejala, tidak sakit, sehingga mereka itu bebas mengunjungi sanak keluarga, mobilitasnya tinggi, cipika-cipiki dan sebagainya, itu menjadi sumber penularan” jelas Politisi PDIP ini.

Kariyasa menambahkan, rapid test dan pengecekan suhu tubuh saja tidak menjamin seseorang terbebas dari virus corona. Apalagi rapid test memiliki kelemahan, yakni hanya bisa mengecek respon tubuh terhadap virus melalui sampel darah.

Baca juga:  Baru Melahirkan, Lilian Mundur dari Atlet Renang

Sedangkan, respons tubuh terhadap virus tidak akan langsung keluar dalam waktu singkat. Paling tidak membutuhkan waktu hingga 7 hari. Oleh karena itu, orang-orang yang masuk ke Bali termasuk Pekerja Migran Indonesia (PMI) seharusnya dikarantina setelah melakukan rapid test. “Tapi karena mungkin masalah biaya, kesiapan, kan tidak bisa sepenuhnya melakukan karantina sehingga banyak juga disarankan karantina mandiri. Tapi ini kan tidak menjamin,” jelasnya.

Kalau kasus positif dibiarkan terus bertambah, lanjut Kariyasa, mereka tidak hanya akan menuju ke RS rujukan. Mengingat adanya keterbatasan SDM dan ruang isolasi.

Jadi untuk berjaga-jaga, RS lainnya serta puskesmas mesti disiapkan dengan alat pelindung diri karena mereka juga tidak boleh menolak pasien. Pihaknya sudah mengusulkan agar RS selain RS rujukan dan puskesmas dapat diberikan bantuan APD.

Baca juga:  Depresi, Gantung Diri di Kandang Babi

Idealnya bahkan sampai puskesmas yang ada di desa-desa. Kariyasa sendiri merogoh kocek pribadi untuk membantu APD dan hand sanitizer di RSUD Wangaya. “Dalam situasi seperti ini, kita harus bergotong royong membantu paramedis dan masyarakat miskin, kita juga harus toleran karena tidak ada satu negara pun yang mempersiapkan diri untuk menghadapi wabah seperti ini,” paparnya.

Menurut Kariyasa, COVID-19 adalah penyakit yang sangat berbahaya sehingga pola untuk melawan harus cepat dan tidak boleh berleha-leha. Untuk menekan kasus positif, masyarakat harus disiplin melakukan social dan physical distancing serta menerapkan perilaku hidup bersih dan sehat.

Selain itu, tempat-tempat umum yang banyak disentuh masyarakat agar lebih sering dibersihkan dengan disinfektan. Seperti misalnya gagang pintu, meja, dan lainnya. (Rindra Devita/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *