Anak-anak sedang memungut sampah di pantai. (BP/dok)

Oleh AAN Oka Wiranata

Berbagai peraturan perundang-undangan terkait dengan perlindungan terhadap anak telah diterbitkan dan diberlakukan di Indonesia. Bahkan dalam Undang-undang tentang Perlindungan Anak Nomor 23 Tahun 2002 telah mengalami perubahan menjadi Undang-undang 35 Tahun 2014. Perubahan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak mempertegas tentang perlunya pemberatan sanksi pidana dan denda bagi pelaku kejahatan terhadap anak, untuk memberikan efek jera, serta mendorong adanya langkah konkret untuk memulihkan kembali fisik, psikis dan sosial anak korban dan/atau anak pelaku kejahatan.

Hal tersebut perlu dilakukan untuk mengantisipasi anak korban dan/atau anak pelaku kejahatan di kemudian hari tidak menjadi pelaku kejahatan yang sama. Dalam undang-undang tersebut juga sangat jelas tertulis bahwa penyelenggaraan perlindungan anak adalah orangtua, keluarga, pemerintah dan negara. Mengutip penjelasan perubahan perlindungan anak sangat jelas diakui walaupun instrumen hukum telah dimiliki, perjalanan Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak belum dapat berjalan secara efektif karena masih adanya tumpang tindih antarperaturan perundang-undangan sektoral terkait dengan definisi anak.

Di sisi lain, maraknya kejahatan terhadap anak di masyarakat, salah satunya adalah kejahatan seksual, memerlukan peningkatan komitmen dari pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat serta semua pemangku kepentingan yang terkait dengan penyelenggaraan perlindungan anak. Untuk efektivitas pengawasan penyelenggaraan perlindungan anak diperlukan lembaga independen yang diharapkan dapat mendukung pemerintah dan pemerintah daerah dalam penyelenggaraan perlindungan anak.

Baca juga:  Komitmen Bersama untuk Mencapai Zona Integritas

Tingginya perhatian penyelenggaraan perlindungan anak dalam mengantisipasi kasus-kasus yang melibatkan anak hingga saat ini belum optimal dapat dilakukan. Buktinya memasuki tahun 2020, kasus kekerasan pada anak di Indonesia masih tetap terjadi. Bahkan dari beberapa jenis kekerasan yang dilaporkan, ternyata kekerasan seksual menempati posisi teratas diikuti kekerasan psikis maupun fisik.

Mengacu pada data dari Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni) Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Anak, angka kekerasan terhadap anak naik signifikan pada 2016. Itu pun baru mengacu pada sebagian kecil kasus yang berhasil dilaporkan dan ditangani pihak berwenang. Kasus kekerasan pada anak yang dilaporkan pada 2015 tercatat 1.975 dan meningkat menjadi 6.820 pada tahun 2016. Dari angka tersebut, sebanyak 88,24 persen anak perempuan dan 70,68 persen anak laki-laki di Indonesia berusia 13 – 17 tahun mengalami kekerasan fisik.

Sementara itu menurut data Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK), pada 2019 ditemukan sebanyak 350 perkara kekerasan seksual pada anak. Awal tahun 2020 kasus kekerasan terhadap anak tidak kunjung membaik, sejumlah kasus kekerasan seksual pada anak masih mencuat. Di antaranya kasus pelecehan seksual pada 12 siswi SD di Kecamatan Seyegan, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) oleh guru (48). Kasus tersebut diungkap polisi pada Januari 2020, namun sudah terjadi sejak Agustus 2019.

Baca juga:  Viral di Medsos, Aksi Bagi-bagi Kue ke Sekolah Buat Resah

Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) memaparkan pada Januari hingga Oktober 2019, angka kasus kekerasan seksual pada anak di sekolah meningkat. KPAI mencatat, terdapat 17 kasus kekerasan seksual di lingkungan pendidikan dengan korban 89 anak, terdiri dari 55 perempuan dan 34 laki-laki. Hanya pengaduan yang diterima oleh KPAI sebenarnya terjadi penurunan.

Namun level kekerasannya justru sangat meningkat. Dan yang agak mengerikan adalah kekerasan seksual karena terjadi peningkatan. Dari 17 kasus tercatat tersebut, 88 persennya dilakukan guru dan 22 persen dilakukan kepala sekolah. 64,7 persen atau setara 11 kasus terjadi di SD, sementara 23,53 persen atau 4 kasus di SMP, dan 11,77 persen atau 2 kasus di SMA. Kasus-kasus tersebut terjadi disebabkan anak-anak belum mengerti aktivitas seksual, sehingga tidak menyadari bahwa dirinya menjadi korban kekerasan seksual.

Masih terjadinya kasus kekerasan terhadap anak berbagai upaya yang dapat dilakukan di antaranya, pertama, upaya preventif melibatkan keluarga, sekolah dan masyarakat. Keterlibatan masyarakat sangat signifikan dalam ikut terlibat aktif dan langsung mencegah kekerasan pada anak.

Upaya pencegahan pun dapat dilakukan dengan model kampanye, sosialisasi dan edukasi publik yang bukan hanya menarik, tetapi memunculkan kepedulian sosial pada persoalan kekerasan pada anak. Upaya preventif ini tentu perlu juga mendapat dukungan penuh dari pemerintah daerah dengan melibatkan dunia usaha sebagai bapak angkat pada setiap kegiatan yang terkait dengan aksi menurunkan kekerasan terhadap anak.

Baca juga:  Pembatasan Kegiatan Masyarakat

Langkah kedua, sistem pelaporan dan layanan pengaduan soal kasus kekerasan terhadap anak harus dioptimalkan. Dalam hal ini seluruh masyarakat harus tahu ke mana bisa melapor. Mekanismenya mestinya diupayakan diketahui publik, gampang diakses, dan cepat mendapatkan tanggapan.

Dalam hal ini pemerintah perlu dibuatkan nomor layanan pengaduan yang mudah diingat dan diakses serta terkoneksi antara daerah dengan pemerintah pusat. Adanya pengaduan yang mudah diakses keluarga korban ataupun masyarakat yang mengetahui terjadinya kekerasan terhadap anak semestinya harus tahu dan mau melaporkan, sehingga pihak terkait dapat dengan cepat melakukan antisipasi maupun menindaklanjuti kasus yang melibatkan anak.

Langkah terpenting yang patut juga dilakukan, apabila dua upaya di atas dilaksanakan yakni bagaimana pengelolaan manajemen penanganan kasus kekerasan pada anak harus terintegrasi dan komprehensif. Bahkan pemerintah berkolaborasi dengan penggiat atau LSM yang peduli terhadap anak melakukan pendampingan berkesinambungan terhadap korban dan keluarga korban.

Selain itu upaya tindak tegas pemerintah dalam hal ini penegak hukum terutama terhadap para pelaku kekerasan terhadap anak, apalagi kekerasan seksual. Langkah penegakan hukum yang memberikan efek jera terutama terkait kasus paedofilia dan kekerasan seksual pada anak dan juga layanan pendampingan hukum sangat penting sekali diberikan oleh pemerintah bersinergi dengan LSM.

Penulis, Alumni S-2 Unhi

BAGIKAN