Ilustrasi. (BP/Dokumen)

DENPASAR, BALIPOST.com – Kasus kekerasan terhadap anak masih tinggi di Bali dan perlu perhatian serius. Dalam kurun waktu Juli hingga September 2025, sebanyak 39 anak jadi korban. Kasusnya ditangani Ditreskrimum Polda Bali.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Ditreskrimum, rincian kasusnya yakni kekerasan sebanyak 16 orang, persetubuhan 6 orang, pencabulan 13 orang, pengeroyokan 1 orang, dan perlakuan salah serta menelantarkan sebanyak 3 orang.

Terkait kejadian ini, Subdit 4 Ditreskrimum Polda Bali selain melakukan proses hukum sesuai prosedur, juga berupaya mencegah peristiwa tersebut. Menurut Kanit 4 Subdit 4 Ditreskrimum Polda Bali, Kompol Ni Nyoman Sri Utami, S.H., M.H., Senin (6/10), pihaknya rutin melaksanakan sosialisasi ke sekolah-sekolah supaya para siswa lebih waspada.

Baca juga:  Amankan BDF, Polisi Kerahkan Puluhan Personel

“Kami juga bersinergi dengan instansi terkait di antaranya dinsos dan UPTD PPA Provinsi Bali,” ujarnya.

Sementara di Polresta Denpasar, Kasi Humas Polresta Denpasar, Kompol Ketut Sukadi mengatakan, untuk kasus yang melibatkan anak-anak ada 2 kasus persetubuhan dengan modus bujuk rayu cinta. Selain itu, ada 2 kasus pencurian melibatkan anak-anak dengan motif untuk biaya hidup.

“Polresta Denpasar melalui Satbinmas rutin melaksanakan penyuluhan ke sekolah-sekolah soal antisipasi bullying serta kenakalan remaja. Begitu juga polsek-polsek melalui Bhabinkamtibmas melaksanakan kegiatan sambang ke masyarakat untuk antisipasi gangguan kamtibmas, termasuk anak-anak muda yang sering kumpul-kumpul ataupun pada saat rapat pemuda,” tegasnya.

Menyikapi masih maraknya kasus ini, praktisi hukum, I Made Somya Putra, S.H., M.H., menyampaikan, kekerasan merupakan wujud dari kurangnya perhatian akan mentalitas anak. Sebenarnya secara yuridis, peraturan perundang-undangan sudah cukup mengatur bagaimana anak-anak dilindungi.

Baca juga:  ASCC Digelar di Nusa Dua, Kapolda Pimpin Apel Gelar Pasukan Pengamanan

“Begitu pula aparat penegak hukum yang sudah berusaha untuk memberikan sikap represif yang tepat ketika anak berhadapan dengan hokum, baik sebagai korban maupun pelaku. Sehingga problemnya ada pada budaya hukum kita yang tertekan pada faktor internal dan eksternal,” ujarnya.

Faktor internal, kata Somya, bisa berupa pengawasan dari orangtua yang kurang, lemahnya sikap mawas diri, dan pemahaman lingkungan dari anak itu sendiri agar terhindar dari kejahatan.

Sedangkan faktor eksternalnya yaitu pendidikan kepada anak bahwa mereka adalah kelompok rentan kurang diperhatikan, tertekannya semua pihak pada pembagian waktu sehingga tidak mampu menjadikan anak sebagai teman bertukar informasi, dan ruang publik untuk anak yang terbatas. Termasuk anak diposisikan sebagai objek, bukan subjek yang harus diperhatikan.

Baca juga:  Kapolri Sebut Penembak 2 WNA di Mengwi Sudah Ditangkap! 

Untuk menekan kasus ini, sebaiknya orangtua mulai membangun pondasi karakter dari rumah. Menjadikan rumah tempat nyaman bagi anak dan mampu menerima cerita anak dari hasil pergaulan di luar rumahnya. Dengan demikian anak akan jarang keluar rumah dan lebih mampu diawasi.

“Pemerintah juga mesti mulai hadir dengan menyediakan fasilitas publik, pendidikan karakter, dan kegiatan ekstra kurikuler positif. Akhirnya membuat ruang mereka terarah dan terhindar dari peluang ada kesempatan bagi penjahat untuk melakukan kejahatannya,” tutupnya. (Kerta Negara/balipost)

BAGIKAN