Wisatawan berjalan-jalan di Kota Denpasar. (BP/dok)

Oleh Putu Rumawan Salain

Pariwisata kini bagaikan sebuah ideologi, dari anak sekolah sampai dengan pemerintah dengan jelas dan lancar menyebutkan manfaat pariwisata. Sehingga pariwisata perlu dibangun dan dikembangkan. Sepuluh Bali di luar Bali menjadi satu bukti betapa seriusnya ideologi pariwisata untuk menggaruk devisa bagi keperluan pembangunan.

Selain pemandangan yang indah, keanekaragaman budaya yang dimiliki, ada indikasi cenderung melupakan aset tidak ternilai berupa warisan budaya yang telah berusia ratusan tahun, unik, dan merupakan kejayaan bangsa. Tulisan singkat ini mengajak semua pihak untuk melestarikan warisan leluhur berupa cagar budaya untuk aset pariwisata.

Pertumbuhan pariwisata sangat signifikan dalam dekade akhir-akhir ini. Kemudahan dan kemurahan biaya penerbangan menjadi salah satu pemicu orang-orang di mana pun untuk melakukan perjalanan. Tentu model perjalanan tidak harus dilakukan dengan hanya pesawat terbang, ada berbagai alternatif, hanya persentasenya kecil. Era globalisasi yang memicu pertumbuhan empat T yaitu trade, transportation, telecomunication, dan tourism menjadikan bumi ini tanpa sekat “batas”. Salah satu dampak yang terlihat adalah bahwa orang-orang dapat ke mana-mana, tinggal di mana-mana, asalkan tidak ada permasalahan antarpemerintah dan atau dalam kondisi: perang, bencana, wabah penyakit menular, dan lainnya, yang penting ada uang, passport, dan visa (kecuali bagi negara yang bebas visa).

Pulau Bali sebagai salah satu destinasi terbaik dunia, banyak terbantu karena cerita, rekaman, dan lainnya yang dilakukan oleh para wisatawan tanpa biaya dan pesan dari pemerintah. Silent promotion ini sangat membantu tingkat kedatangan wisatawan. Tidak jarang di antaranya wisatawan yang telah pernah ke Bali, berkunjung lagi pada saat berikutnya dengan berbagai alasan. Bali bagaikan rumah kedua mereka, bahkan sangat mungkin surga bagi mereka (ingat Bali Last Paradise).

Baca juga:  Menghindar dari Gelombang Pandemi COVID-19

Dari catatan yang diperoleh ternyata penduduk Bali kini  berjumlah sekitar 4.203.971 jiwa dengan luas pulau 5.636,66 km2 atau 0,29% luas wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia, memiliki objek wisata 288 buah dengan tiga terbanyak berada di Kabupaten Gianyar, disusul Kabupaten Badung, dan Bangli. Sedangkan jumlah akomodasi pariwisata se-Bali pada tahun 2017 berjumlah 4.874 buah, dengan komposisi hotel berbintang sejumlah 551 unit dan sisanya 4.323 merupakan hotel bukan bintang.

Tiga kabupaten terbanyak memiliki hotel berbintang adalah Kabupaten Badung, Kota Denpasar, dan Gianyar. Dalam data tersebut dijumpai bahwa di Kabupaten Bangli tidak memiliki hotel berbintang, padahal Kintamani- Bangli merupakan lokasi untuk pertama kalinya dibangun hotel untuk melayani paket wisata yang dilakukan oleh maskapai pelayaran Belanda (KPM) yang kapalnya berlabuh di Pabean, Buleleng.

Jumlah wisatawan mancanegara yang berdatangan ke Bali dari tiga tahun terakhir menunjukkan angka peningkatan yang sangat signifikan. Menurut catatan yang dimilki pada tahun 2015 yang lalu, ada  4.001.835 orang, kemudian pada tahun 2016 meningkat lagi 4.927.937 orang atau sekitar 23,14%. Pada tahun berikutnya yakni tahun 2017 meningkat lagi menjadi 5.697.739 orang atau meningkat 15,62% lebih.

Akhir-akhir ini, wisatawan asal China menyumbang jumlah yang sangat signifikan peningkatannya. Untuk tahun 2017 yang lalu, tercatat 1.280.000 orang, sisanya dipadati oleh wisatawan asal Australia, Jepang, India, Eropa, dan lainnya. Bahkan, jika wisatawan nusantara dijumlahkan pada tahun yang sama akan diperoleh jumlah wisatawan sekitar 12,5 juta orang (sekitar tiga kali jumlah penduduk Bali).

Baca juga:  APK dan Pencemaran Wajah Kota

Dari jumlah hotel tersebut di atas dapat dibayangkan betapa besar investasi maupun keuntungan dan risikonya bagi investor. Demikian pula dampak yang dihasilkannya sepertinya tidak pernah terselesaikan, khususnya yang terlihat oleh pandangan mata misalnya, perubahan fungsi lahan, kemacetan, timbulan sampah, air bersih, mahalnya kebutuhan hidup sampai dengan yang tidak tampak oleh mata adalah persoalan perubahan nilai budaya yang merupakan warisan sekaligus soko guru masyarakat Bali.

Memuliakan budaya sebagai warisan para leluhur pada era tahun Pemajuan Budaya (Undang-undang nomor 5 tahun 2017) dengan APBD total Provinsi Bali mendekati 6 triliun dipandang belum memadai untuk dapat meningkatkan pencatatan, penetapan, sampai dengan tindakan konservasi objek cagar budaya untuk maksud meningkatkan angka kunjungan. Harus ada upaya yang terhormat, fokus, dan berkelanjutan untuk dapat melestarikan objek cagar budaya yang sangat kaya di Bali.

Disadari atau tidak, warisan budaya yang diterima sampai dengan saat ini merupakan modal yang sangat unggul dan bernilai tinggi. Warisan budaya yang telah tercatat dalam cagar budaya tingkat nasional, provinsi, maupun kabupaten/kota adalah aset yang dapat dijadikan sumber ilmu pengetahuan, falsafah,  maupun teknologi bagi eksistensi bangsa Indonesia yang terdiri dari berbagai etnis. Cagar budaya merupakan warisan budaya fisik “benda” yang dapat saja berupa benda, bangunan, struktur, situs, dan kawasan cagar budaya di darat maupun air.

Pelestarian cagar budaya perlu dilakukan setelah melalui penetapan dikarenakan mengandung nilai yang sangat penting bagi sejarah, pendidikan, ilmu pengetahuan, agama, dan kebudayaan. Proses penetapan secara singkat dapat disampaikan wajib diawali dengan pengusulan kemudian penetapan melalui tim ahli cagar budaya masing-masing kota/kabupaten/provinsi/nasional, sesuai dengan keberadaan maupun kewenangannya.

Baca juga:  Bukit Menoreh Dibelah untuk Persingkat Rute ke Borobudur, Ditarget Rampung 2022

Ada baiknya jika rencana memindahkan, memperbaiki, menambahkan/mengurangi, mengubah fungsi dan lain sebagainya wajib mengikuti mekanisme perizinan sesuai dengan yang diatur dalam peraturan, khususnya bagi aset cagar budaya maupun yang potensial cagar budaya agar nilai budaya, sejarah, teknologi, maupun pengetahuan yang terkandung di dalamnya tidak hilang dengan kesengajaan. Hal ini disampaikan mengingat semangat umat untuk berbakti dan mempersembahkan hasil karyanya tanpa memerhatikan kepentingan latar belakang sejarahnya. Bukankah bapak pertama Republik Indonesia Ir. Soekarno berujar Jasmerah, yang merupakan singkatan dari “Jangan sekali-sekali meninggalkan sejarah”.

Dinamika perubahan cara berpikir, tindakan sampai dengan benda fisik “bangunan” dapat berlangsung oleh karena kepentingan dan kebutuhan dari dalam atau luar dirinya. Ketika pertumbuhan pariwisata meningkatkan tingkat pendapatan maupun kesejahteraan mereka, maka uang menjadi motor sekaligus panglima dari perubahan. Demikian juga pengaruh dari luar dirinya, seperti, perubahan iklim, iptek, globalisasi, sampai dengan era disrupsi secara langsung maupun tidak akan berdampak pada sikap dan perilaku manusia sampai dengan objek fisik keperluan mereka dalam mempertahankan kehidupan dan penghidupannya.

Berbagai wujud tampak maupun tidak, yang bermuara pada perubahan dihadapi tidak dengan perlawanan head to head, melainkan dihadapi dengan suatu negosiasi yang mengedepankan daya lenting. Artinya, bahwa local genius wajib menjadi inti dan tema dari perubahan, sehingga tidak tergilas oleh perubahan. Filosofi Tri Hita Karana dan perayaan Nyepi diterima sebagai buah budaya local genius yang telah mendunia.

Penulis, guru besar Arsitektur, Fakultas Teknik Universitas Udayana

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *