Sejumlah penumpang pesawat menunggu di luar terminal keberangkatan internasional Bandara Ngurah Rai. (BP/dok)

Oleh I Nengah Sulatra

Apa lagi penderitaan yang harus dialami oleh para penumpang pesawat di Indonesia? Perjalanan penerbangan Indonesia sejak tahun 2014, selalu ada kecelakaan pesawat terbang setiap tahun. Bervariasi mulai dari helikopter, hercules, pesawat baru, sampai dengan pesawat komersial macam Lion Air di perairan Karawang ini.

Cerita itu saja sudah membikin perasaan tidak nyaman kepada calon penumpang. Kata “horor” sering kali muncul dari para calon penumpang  terhadap maskapai penerbangan tertentu di Indonesia. Dari sisi lain, menjadi calon penumpang pesawat di Indonesia harus siap-siap menderita (dalam arti sebenarnya) sejak dari rumah.

Peraturan memerintahkan penumpang untuk datang satu atau dua jam sebelum boarding di bandara. Karena ini merupakan ketentuan peraturan, calon penumpang menurut dan menepati waktu itu, meski ada perasaan menderita juga.

Akan tetapi, yang paling membikin menderita, adalah delay yang dilakukan oleh maskapai tersebut. Delay itu tidak hanya beberapa menit tetapi dapat sampai lebih dari dua jam. Bagi yang menghargai waktu, dua jam sebelum keberangkatan itu merupakan “pembuangan waktu yang ditoleransi” karena ketentuan penerbangan memang demikian.

Tentu maksud kedatangan sampai dua jam sebelum keberangkatan  dasarnya adalah agar penumpang tidak ketinggalan pesawat. Artinya, prinsip ketentuan peraturan ini adalah ketepatan waktu keberangkatan.

Akan tetapi, yang terjadi dalam “era modern” penerbangan Indonesia, justru sebaliknya. Setelah penumpng datang tepat waktu, tiba-tiba maskapai “membunuh sendiri” ketepatan waktu itu dengan delay yang berjam-jam.

Delay setengah jam saja sudah membikin orang menderita, apalagi dua jam, bahkan tiga jam. Mohon maaf, dan jujur saja harus dikatakan, tidak saja maskapai Lion Air, Batik Air, Wings, Citylink, bahkan Garuda pun tidak lepas dari acara delay ini. Bayangkan bagaimana tersiksanya penumpang dengan acara-acara delay seperti itu.

Baca juga:  Waspada Depresi dan Bunuh Diri saat Pandemi COVID-19

Dari konteks delay ini, ada bermacam-macam sikap dan ungkapan para penumpang. Seharusnya, perusahaan besar yang mengoperasikan pesawat mampu menerjemahkan makna dan sikap penumpang guna memahami kondisi sosial dan perasaan mereka dan kemudian mengubah kebijakan perusahan.

Yang pertama adalah membuat kepanjangan nama maskapai penerbangan tertentu yang dikaitkan dengan delay. Akronim ini tentu merupakan ungkapan sikap kesal penumpang kepada perusahan tersebut yang sudah berkali-kali dan membiasakan diri dengan delay tersebut. Akronim itu juga mempunyai makna protes diam dari penumpang dan mencoba menjadikan protes itu sebagai sebuah lelucon dan menyebarkannya kepada masyarakat. Penyebaran ini tentu saja guna menahan masyarakat agar tidak menumpang pesawat pada maskapai penerbangan itu.

Akronim yang diungkapkan itu juga dapat dimaknai sebagai sebuah protes masyarakat yang tidak mempunyai daya dan kekuatan atas kuasa maskapai tersebut yang seenaknya membuat kebiasaan atas kehendak sendiri. Maskapai bertindak semaunya sendiri mentang-mentang mempunyai kekuatan dan kuasa (berupa armada yang banyak). Cara membuat akronim ini mirip dengan protes masyarakat kecil kepada negara.

Yang kedua dengan memunculkan kata horror yang ditujukan untuk maskapai penerbangan tertentu karena cara kerja atau mungkin terbangnya tidak benar. Pilihan kata horror ini merupakan batas kengerian manusia saat menghadapi hal tertentu. Dalam hal penerbangan, pasti yang dimaksudkan adalah titik bahaya yang mengancam jiwa.

Baca juga:  "Recovery Rate" Penumpang di Bandara Ngurah Rai Hampir 90 Persen

Kata-kata horror ini juga sudah memasyarakat yang ditujukan kepada maskapai penerbangan tertentu. Maka jika sudah sampai muncul kata-kata seperti ini, seharusnya pihak yang tersindir itu mengetahui pola kerjanya kemudian mengaca pada maskapai sendiri tentang pola kinerjanya.

Sudah tentu apabila jelek, harus segera diperbaiki. Maskapai pesawat terbang jangan main-main dengan rasa yang telah diungkapkan oleh penumpang. Horror itu adalah sebuah pengalaman nyata dan karena itu sudah sepantasnya dipakai untuk melakukan introspeksi terhadap kinerja maskapai penerbangan.

Yang ketiga, adalah kepasrahan dari calon penumpang. Saking demikian banyaknya delay yang dilakukan oleh maskapai penerbangan tertentu ini (bahkan oleh maskapai lain), calon penumpang atau  penumpang ini sudah tidak mempunyai kekuatan lagi untuk melakukan tindakan apa pun. Artinya, mereka sudah pasti pernah protes dalam bentuk apa pun, juga sudah terlalu sering menggerutu.

Akan tetapi, karena kebutuhan yang mendesak dan memaksa mereka, tidak bisa lain kecuali memilih maskapai penerbangan tersebut. Akan tetapi, dibawa menuju ranah politik, maskapai yang sering mendapat kritik itu dapat dikatakan sebagai maskapai yang terlalu berkuasa, otoriter, bahkan totaliter.

Mereka melakukan tindakan seenaknya sendiri mumpung mempunyai sumber daya seperti armada pesawat yang banyak dan menguasai jalur penerbangan. Kesan ini muncul karena membiarkan masyarakat pengguna jasa pesawat terbang demikian menderita, delay berjam-jam tanpa berupaya mengetahui bagaimana perasaan dan kerugian yang dialami penumpang. Hal seperti ini, tidak ubahnya seperti penguasa negara atau pemerintahan yang praktiknya otoriter, berkuasa tanpa melihat nasib rakyat.

Baca juga:  Prihatin dengan Musibah Kapal Jatuh

Maka, tentu saja di tengah iklim demokrasi seperti sekarang dan mengaku sebagai penerbangan berbiaya murah, mengabaikan calon penumpang seperti itu jelas melanggar hak asasi, “menjajah” manusia dan kemanusiaan, dan mengekang dan menghalangi gerakan masyarakat. Sikap-sikap seperti ini adalah antidemokrasi dan sudah selayaknya pemerintah juga mempertimbangkan hal seperti ini dalam rangka menindak maskapai penerbangan seperti ini. Pemerintah tidak usah ragu-ragu terhadap perilaku buruk dari maskapai penerbangan tersebut.

Maka, kecelakaan yang dialami pesawat Lion Air nomor penerbangan JT 610 di perairan Karawang itu merupakan puncak dari keabaian dari pengelola penerbangan. Ini bukan lagi puncak penderitaan tetapi sudah menjadi malapetaka. Tidak ada yang dapat mengganti nyawa mereka yang menjadi korban kecelakaan itu. Permintaan maaf saja kiranya tidak cukup lagi diutarakan.

Harus ada tindak lanjut, yang kalau dibawa menuju ranah demokrasi adalah pilihan mundur bagi pejabat-pejabat di maskapai penerbangan tersebut. Perlu juga dipertimbangkan eksistensi maskapai penerbangan itu, apakah tetap diizinkan melanjutkan usahanya atau berhenti. Akan bagus apabila secara sukarela menghentikan kegiatannya dan mengganti seluruh manajemen yang ada.

Peringatan juga bagi maskapai-maskapia lain. Tidak boleh meremehkan jiwa manusia. Pesawat harus secara regular diawasi dan diperbaiki, jangan dipaksa untuk terbang hanya demi tujuan kentungan tanpa memerhatikan jiwa manusia. Indonesia tetap perlu penerbangan berbiaya murah karena luas wilayah negara dan kemampuaan masyarakat kita seperti itu. Akan tetapi, janganlah kemudian mengabaikan keselamatan jiwa. Kita berduka atas kejadian ini.

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *