Penari lanang menarikan Tari Legong dalam pementasan di PKB. (BP/wan)
DENPASAR, BALIPOST.com – Kerauhan atau kerasukan mewarnai pentas Legong Muani Sanggar Seni Klasik Ardhanareswari di Kalangan Angsoka, Taman Budaya Denpasar, Kamis (29/6). Ada saja penari yang tiba-tiba berteriak histeris tanpa sadar di akhir setiap pentas tari. Duta Kota Denpasar ini antara lain membawakan Legong Kuntir, Legong Pelayon, Legong Candra Kanta, dan Legong Lasem.

“Itu kami percayai sebagai taksu. Kebetulan juga para penari kami bukan dari kalangan orang yang biasa. Bisa dibilang anak indigo,” ujar Ketua Sanggar, I Gusti Made Agus Wira Aditama.

Disisi lain, lanjut Agus Wira, pementasan “disaksikan” pula oleh sesuhunan Ratu Ayu baik dalam wujud Rangda maupun Gelungan Condong. Kedua sesuhunan sanggar ini memang selalu diikutsertakan dalam setiap pementasan.

“Kita punya sesuhunan legong, sesuhunan condong juga kita punya. Kebetulan tempat kita berlatih juga di Pura Dalem Kediri, ada sesuhunan legong nya. Itu (sesuhunan) istilahnya manajer niskala, kalau manajer sekala-nya saya,” terangnya.

Baca juga:  Eka Wiryastuti Tegas Tolak Rencana Reklamasi Teluk Benoa

Menurut Agus Wira, Sanggar Ardhanareswari sampai saat ini sudah menggarap 16 dari 18 tari legong klasik. Ke-16 tarian sudah dipentaskan dalam empat kali PKB yang diikuti sanggar. Tari Legong yang dipentaskan dengan iringan gamelan semara pagulingan dari sekaha gong Punia Bhakti tersebut merupakan versi lengkap. Legong Lasem misalnya, tidak hanya sebatas menceritakan Prabu Lasem yang meninggal di medan perang. Tapi juga mengisahkan secara detail tentang Prabu Lasem yang merayu Rangke Sari meski telah beristri.

Pun ketika Prabu Lasem berangkat ke medan peran dan istri Prabu Lasem yang ternyata mesatya dengan melabuh geni pasca ditinggal mati suaminya. Babak-babak ini sudah banyak dipotong pada tari Legong yang biasa ditarikan sekarang.

Disisi lain, tari Legong juga ada yang saling terkait satu sama lain. Seperti Legong Pelayon dan Legong Lasem lantaran Legong Pelayon menceritakan kehidupan masa kecil Rangke Sari. Atau Legong Candra Kanta tentang gerhana bulan yang masih berhubungan dengan Legong Surya Kanta tentang gerhana matahari. Seluruh tarian direkonstruksi dengan berguru pada maestro-maestro Legong, seperti Ni Ketut Arini dan Anak Agung Susilawati.

Baca juga:  Bangli Ikut 13 Materi PKB, Pendaftaran Seniman Mulai Dibuka

“Beliau kan masih punya dokumentasi yang lengkap. Beliau juga ingin membangkitkan itu karena yang sekarang anak-anak kebanyakan menarikan legong dengan versi yang sudah dipotong-potong karena durasinya lama, stamina mereka kurang,” paparnya.

Agus Wira menambahkan, legong pada awalnya justru dipentaskan oleh laki-laki (muani) bukan perempuan. Mengingat, penari laki-laki memiliki stamina dua kali lipat lebih kuat. Itu sebabnya, 14 penari Legong Muani dari Sanggar pimpinannya siap menampilkan tari Legong dengan pakem-pakem terdahulu tanpa mengurangi durasi tarian.

Baca juga:  Yonda dan Kawan Ditahan di LP Kerobokan

Dalam hal ini, babak demi babak gerakan kuno Legong klasik ini telah digali dengan lengkap. “Durasi tarian rata-rata 35 menit. Tapi yang Legong Lasem paling panjang sekitar 45 menit. Kami mempersiapkan selama tiga bulan latihan. Kendala saat latihan utamanya mengubah kebiasaan agem laki-laki ke agem perempuan,” pungkasnya.

Salah seorang penari, I Kadek Dedi mengatakan, tari Legong lebih menantang ketimbang tari Bali lainnya. Dari segi pakem lain daripada yang lain. “Terkadang mengalami kesulitan saat latihan dari segi pakem dan ceritanya tentang apa,” ujar penari berusia 18 tahun ini.

Sementara itu, Kadek Yogi, penari lainnya mengaku belajar menari secara otodidak. Dirinya tertarik menjadi penari Legong Muani lantaran saat ini tidak banyak laki-laki yang mau menarikan tari perempuan. “Memang ada sih gerak gerik cewek yang terbawa ke kehidupan sehari hari. Tapi tidak sepenuhnya,” ungkapnya.
(rindra/balipost)

BAGIKAN

TINGGALKAN BALASAN

Please enter your comment!
Please enter your name here

CAPCHA *