Perbaikan salah satu ruas jalan di Denpasar yang dilakukan instansi terkait. (BP/istimewa)

DENPASAR, BALIPOST.com –Setiap tahun Dinas PUPR menganggarkan untuk perbaikan jalan di sejumlah titik. Namun dalam perbaikan jalan agar tidak sampai menumpuk aspal sebelumnya karena akan berdampak pada lingkungan sekitarnya.

Pengamat tata ruang Prof. Putu Rumawan Salain, Rabu (5/11) mengatakan, service atau perbaikan jalan skala kecil, tidak masalah jika dilakukan tambal aspal. Namun jika kerusakan jalan cukup berat, kondisinya amblas, maka jalan aspal tersebut harus dikerok.

“Harus dikerok, diulang lagi fondasinya, agar dilakukan pemadatan yang mantap, baru dilakukan kegiatan. Dan harus dilakukan pengaturan lalu lintas agar tidak mengganggu pekerjaan dan jalan tidak cepat rusak, kalau tidak, khawatir amblas lagi,” ujarnya.

Ia melihat selama ini jarang jalan aspal di Bali dikerok ketika dilakukan perbaikan. “Jarang saya lihat, kecuali perbaikan jalan kemarin di Gianyar, daerah Tegal Tugu. Dikerok dulu semua, hasil kerokannya dibuang, lalu diberi pasir, batu, baru kemudian dipoles dengan aspal. Kalau lubang kecil di tambal tidak apa-apa, tapi kalau keretakan banyak, dan didalamnya amblas maka harus dikerok ulang,” ujarnya.

Baca juga:  Jalur Poros Vital, Perbaikan Jalan Pendem-Baler Bale Agung Gunakan BTT

Dalam jangka panjang, Denpasar harus memilih alternatif, tidak lagi melakukan penumpukan jalan setiap periodenya. Jika penumpukan aspal terus dilakukan, maka akan mengubah permukaan lingkungan.

“Contohnya di Kantor PU dan Bappeda di Renon, posisi halaman kantor kini sudah ada di bawah permukaan jalan karena setiap tahun, ketinggian aspal bertambah 5-8 cm. Jika 10 kali diaspal berarti ketinggian jalan akan bertambah jadi 50 cm,” bebernya.

Kondisi itu akan membuat air hujan masuk ke halaman kantor dan menggenang karena posisinya yang lebih rendah dari jalan raya. “Kalau alasan biayanya mahal, kita hitung yang terbaik dong, jangan merusak lingkungan dalam jangka panjang,” ujarnya.

Selain merusak lingkungan, ia juga khawatir pola perbaikan jalan dengan menumpuk juga akan mengaburkan kondisi dasar atau struktur jalan. Sehingga dasar yang tidak kuat akan membuat jalan amblas di dalam/bawah aspal.

“Karena lapisan aspal hanya kuat 5-8 cm saja. Kalau fondasinya amblas, maka akan jadi pekerjaan berat. Jadi lebih baik memperbaiki total. Kalau tidak, pilih jalan beton seperti By-pass Prof Mantra,” ujarnya.

Baca juga:  Penuhi Konsumsi Ikan Mandiri, Ini yang Diterapkan Tabanan

Selain itu, kualitas dan umur jalan juga harus menjadi pertimbangan. Beberapa faktor yang mempercepat kerusakan jalan salah satunya beban kendaraan yang melewati.

“Banyak yang tidak kita hitung terutama terkait jumlah kendaraan yang mengangkut barang. Yang dihitung selama ini hanya angkutan penumpang pariwisata dan kendaraan pribadi sedangkan angkutan barang tidak kita ketahui jumlahnya,” ujarnya.

Kendaraan angkutan barang tidak hanya mengangkut barang kebutuhan esensial namun juga material bangunan yang melebihi tonase. Dengan demikian perlu ketegasan seleksi terhadap kendaraan – kendaraan tersebut.

“Selain membuat macet juga mempercepat rusaknya jalan. Itu harus dipikirkan, kalau tidak, kita jadi terus memperbaiki jalan saja,” ujarnya.

Kendaraan yang melewati batas beban harus ditindak tegas. Dengan memanfaatkan ETLE, angkutan yang melebihi batas beban dapat ditindak tegas dan ditilang. Tidak hanya menindak pelanggar yang tidak memakai seatbelt atau pelanggaran lalu lintas lain tapi teknologi ETLE juga diharapkan dapat mengontrol kendaraan ODOL. “Dulu ada jembatan timbang, sekarang itu seperti tidak berfungsi semestinya,” ujarnya.

Baca juga:  Prajurit dan Keluarga Yonzipur 18/YKR Divaksinasi Booster

Kata Prof Rumawan, jika saja tol laut yang digagas sebelumnya berkembang baik maka beban jalan di daratan akan berkurang.

Selain itu ia mencermati dasar atau struktur jalan, jembatan harus kuat menahan beban. Salah satu jembatan yang menjadi evaluasinya adalah jembatan di Jalan By-pass Ngurah Rai dekat Restoran Hongkong, usia cukup lama. Sementara di area tersebut sering macet karena adanya antrean penyebrangan laut di Jalan Matahari Terbit.

Sehingga kendaraan yang berdiri di atas jembatan cukup lama membuat beban jembatan berat. “Kendaraan yang diam di tempat itu juga bebannya tinggi bagi jembatan,” ujarnya.

Ia khawatir akan ada keretakan di jembatan tersebut. Maka dari itu perlu survei ulang terlait kekuatan jembatan.(Citta Maya/balipost)

BAGIKAN